Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (11) : Pengikisan Gerakan Buruh

Ruang gerak federasi-federasi serikat buruh mulai mendapat tekanan dari pihak militer dengan dijalankannya kebijaksanaan BKS BUMIL. Hal ini pada masa sebelumnya belum pernah terjadi

Tahun 1956 sampai 1959 ada dua permasalahan besar yang saling berkaitan yang dihadapi oleh Indonesia. Yang pertama adalah perjuangan pembebasan Irian Barat yang selalu gagal diperjuangkan dalam PBB; dan kedua adalah permasalahan Nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik asing sebagai bagian dari arus tuntutan rakyat (khususnya buruh) sejak kemerdekaan. Pihak militer (khususnya Angkatan Darat) yang sejak tahun 1950 diuntungkan oleh kebijakan “Penguasa Perang Pusat” (Peperpu), mendapatkan ruang yang cukup besar semasa konflik Irian Barat.

Bacaan Lainnya

Dengan sudah meluasnya kekuatan buruh (yang didominasi oleh SOBSI) untuk menuntut adanya nasionalisasi, pihak militer sebagai “penguasa perang” ketika itu takut akan penguasaan buruh atas aset-aset perusahaan milik asing seperti yang sempat terjadi pasca kemerdekaan (yang dilakukan oleh BBI), walau akhirnya oleh pemerintah dikembalikan lagi kepada pihak asing.
Untuk itu, pada tahun 1957 militer menginstruksikan untuk membentuk Badan Kerjasama Militer dengan elemen-elemen rakyat. Untuk kalangan buruh, SBII yang kemudian menjadi Gasbiindo (sebagai kekuatan yang anti terhadap SOBSI) menjadi corong bagi terbentuknya Badan Kerjasama Buruh-Militer (BKS Bu-Mil). Lewat BKS Bu-Mil ini, secara bertahap militer akhirnya mampu mendominasi perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi dengan menempatkan banyak kalangan militer sebagai manajemen.

Pihak militer langsung menerapkan peraturan larangan mogok di perusahaan-perusahaan yang sudah dinasionalisasi. Melihat dominasi militer itu, pemerintah atas desakan rakyat kemudian mengeluarkan PP No.23 tahun 1958 yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi adalah dikuasai oleh pemerintah RI dan membentuk Badan Nasionalisasi (BANAS) pada tahun 1959. Namun secara kenyataan (de facto), pihak militer tidak menyerahkan perusahaan-perusahaan tersebut dengan alasan teknis dan hanya melakukan kordinasi dengan Menteri Perdagangan.

Ruang gerak federasi-federasi serikat buruh mulai mendapat tekanan dari pihak militer dengan dijalankannya kebijaksanaan BKS BUMIL. Hal ini pada masa sebelumnya belum pernah terjadi.
Pada bulan Juli 1960, Menteri Perburuhan dan sekaligus ketua KBKI, Ahem Erningpraja mengajukan rancangan untuk membentuk Organisasi Persatuan Pekerdja Indonesia (OPPI) yang diharapkan dapat menyatukan gerakan buruh dan mengikutsertakan organisasi karyawan seperti Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (PKPN) yang baru terbentuk saat itu. Rancangan tersebut ditolak oleh SOBSI, walau kemudian tetap terbentuk di berbagai daerah dengan dukungan serikat-serikat buruh yang non-komunis dan perwira militer di daerah-daerah.

Dalam rangka mendukung Trikora untuk pembebasan Irian Barat, tahun 1961 atas rancangan Menteri Perburuhan, dibentuklah Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang terdiri dari KBKI, SOBSI, HISSBI, GASBIINDO, SOBRI, GOBSI Indonesia, SARBUMUSI, KESPEKRI, GSBI, dan Kubu Pancasila.

Pada tahun 1962, organisasi PKPN yang mendapat dukungan penuh dari kalangan militer mengadakan kongres di Jakarta, dan mengubah nama menjadi Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Organisasi ini dipimpin oleh Jendral Suhardiman. SOKSI kemudian menjadi organisasi yang menyaingi keberadaan SOBSI dengan cara melemahkan gerakan buruh.
Perkembangan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno agaknya semakin menyulitkan gerakan buruh dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/ atau Penutupan (Lock Out), lalu Keputusan Presiden Nomor 123 tahun 1963, tentang pelarangan pemogokan di sejumlah perusahaan.

Baca Juga : Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (10) : Gerakan Buruh Pasca Kemerdekaan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *