Sebuah Dongeng Negeri Yang Oleng

Bogor, KPonline, – Alkisah, tersebutlah sebuah negeri nun jauh disana. Negeri yang elok dan kaya akan segalanya. Alamnya yang indah, hasil bumi yang berlimpah dan rakyatnya yang penuh senyum dan ramah. Negeri tersebut sebenarnya tidaklah pernah merdeka dalam artian yang sebenarnya. Karena sesungguhnya, kemerdekaan semu yang selama ini mereka rasakan hanyalah sebuah dongeng semata.

Negeri Oleng namanya. Sebuah negeri yang merdeka, setelah dikuras habis kekayaan alamnya oleh Kebo Bule dan Saudara Tua. Penderitaan batin dan trauma penjajahan, selama ratusan tahun lamanya, membuat rakyatnya lupa akan makna dan arti sebuah sejarah panjang negara. Rakyat yang mudah lupa, diperparah dengan persaingan antar birokrat yang gila akan kuasa. Rakyatnya seringkali menangis diatas bahu penguasa. Akan tetapi, jika melawan, akan berakhir di pusara.

Bacaan Lainnya

Dodo dan Bowo. Dua nama birokrat yang seringkali beradu kekuatan untuk menuju singsana. Keduanya memiliki kekuatan dan ajian-ajian yang berbeda, sakti mandraguna dan juga wibawa. Berulang kali bertarung didepan rakyat yang secara langsung melihatnya. Menguji keilmuan dengan segala daya dan upaya, agar bisa duduk diatas singgasana. Berulang kali rakyat Negeri Oleng diadu domba, oleh beberapa penghembus keonaran dan malapetaka. Rakyat menderita, hingga dua kali lamanya, Dodo berkuasa memegang tampuk singgasana.

Sebagian rakyat menyanjung dan mengelu-elukan Dodo sebagai pribadi yang merakyat dan bersahaja. Dan, sebagian lainnya, mengharapkan Bowo menjadi penguasa, agar perubahan terjadi, dengan harapan rakyat makmur sejahtera. Hingga pada akhirnya, wabah penyakit melanda, dan tak ada satu pun tabib yang mampu memberikan obat penyembuh atas malapetaka.

“Saya nyatakan, mulai hari ini, Darurat Sipil diberlakukan di senatero negeri kita. Jaga kesehatan, dan jangan lupa cuci tangan, agar kita sehat dan aman senantiasa” titah Dodo kepada rakyat Negeri Oleng dari atas kuda. Seperti orang yang telah kehabisan akalnya, Dodo seringkali memberikan pernyataan plintat-plintut yang tak jelas arti dan maknanya. Dodo terkesan berwibawa, meskipun pada kenyataannya, jubahnya yang merakyat dan sederhana, hanya untuk menutupi ketidak mampuan dan kebobrokan dirinya. Karena, jika hanya berkata, jaga kesehatan dan jangan lupa cuci tangan, anak ingusan yang paling dekil seklalipun di Negeri Oleng juga bisa.

Sedangkan Bowo, tak jelas rimbanya. Konon kabarnya, sejak menjadi pembantu Dodo di istana, Bowo lebih sering termenung dan bermuram durja. Kabar angin berhembus ke telinga, Bowo banyak berbuat tanpa mau diketahui rakyat dan para punggawa istana. Entahlah, seperti ditelan bumi, dan hilang entah kemana dirinya. Yang pasti, ada jutaan pendukungnya yang masih menanti dirinya, untuk kembali bertarung menjadi raja di istana. Bahkan, juru tulis istana dan juru tulis kelas rakyat jelata pun, sangat sulit untuk bertemu dengan dirinya. Penjagaan yang ketat, bak lapis baja, seakan-akan menjaga jarak dengan rakyat jelata. Mungkin dirinya sudah menua, sehingga membutuhkan istirahat yang cukup, dan sudah mulai malas berkata-kata.

Wabah penyakit semakin menyebar dan menggila. Rakyat mati bagaikan serangga yang disemprot anti hama. Bertumbangan dan tergeletak dimana-mana. Bau anyir tak sedap menusuk hidung dan menyesakkan dada. “Jaga kesehatan dan jangan lupa cuci tangan” kembali Dodo menyeru kepada rakyatnya. Entahlah, atau jangan-jangan, hanya itu yang dia bisa. Rakyat kelaparan dan meronta-ronta, meminta-minta belas kasihan penguasa yang kikir, dan juga gila kuasa. Rakyat Negeri Oleng memohon agar beras dan bahan makan murah tersedia. Tapi apa yang didapatkan mereka ? Tendangan sepatu lars dan todongan senjata.

“Kami ingin menagih janji-janjimu wahai raja. Kenapa kami disiksa, dipukul, ditendang dan ditodong menggunakan senjata ? Mana janji-janjimu wahai tuan raja” jerit rakyat dimana-mana. Dikampung-kampung, di desa-desa bahkan hingga ke kota, semua rakyat mengeluh, menyesal karena memilih Dodo menjadi raja untuk kali kedua. “Kami, dan keluarga kami sakit, Yang Mulia Raja. Apa yang bisa dilakukan para punggawa kerajaan, agar kami sehat seperti sedia kala ?” ratap rakyat yang sakit tiba-tiba, tanpa sebab dan tanpa pandang bulu mata. “Jaga kesehatan dan jangan lupa cuci tangan” kembali Dodo bertitah, yang ternyata juru tulis istana lupa memberikan contekan yang baru kepada dirinya. Karena jawabannya, ternyata hanya itu-itu saja.

“Kami lapar wahai Baginda Raja. Adakah segenggam beras dan secangkir air, untuk menahan lapar dan dahaga ?” kali ini Dodo terdiam membisu tanpa berkata-kata. Para punggawa istana, melarikan diri kerumah mereka masing-masing tanpa bersuara. Mereka membungkus bahan makanan, mengumpulkan harta benda yang mereka punya, dan bersiap meninggalkan Negeri Oleng dan istana. Mereka akan melarikan diri menuju negeri yang nun jauh disana. Karena mereka tahu dan merasa, sebentar lagi Negeri Oleng akan hancur dan binasa.

Dodo diam seribu bahasa. Jiwanya ingin meronta selama ini, karena hanya dijadikan boneka oleh para punggawa istana. Dodo merasa bersalah atas segala dosa yang selama ini dia perbuat kepada rakyatnya. Dia hanya pasrah dan termangu melihat ini semua. Karena wabah penyakit, dirinya harus turun dari singgasana tahta, dan meninggalkan istana. “Seharusnya, aku lebih memikirkan rakyatku bukan para punggawa istana, yang bisanya hanya khianat saja. Aku menyesal” ucap Dodo kepada jiwanya yang sedang merana. Wabah penyakit ternyata mengenai dirinya, tak berapa lama, Dodo meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

Dan siapakah pengganti Dodo selanjutnya? Entahlah. Budak Angon masih dinanti sebagai penggantinya.

Pos terkait