Kementerian Ketenagakerjaan baru-baru ini melaporkan bahwa sebanyak 46.240 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang periode Januari hingga Agustus 2024. Data ini menunjukkan bahwa PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah, yang selama ini dikenal sebagai wilayah dengan upah rendah. Fakta ini sekaligus mematahkan mitos bahwa upah murah adalah solusi untuk mengatasi PHK. Sebaliknya, di Jawa Tengah, yang dikenal dengan tingkat upah rendah, justru angka PHK tertinggi tercatat, terutama di sektor manufaktur, tekstil, dan industri pengolahan.
Selama bertahun-tahun, pemerintah dan pengusaha mempromosikan kebijakan upah murah sebagai strategi untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Jawa Tengah sering dijadikan contoh sukses dari kebijakan ini, dengan argumen bahwa upah rendah akan meningkatkan daya saing dan menjaga keberlangsungan operasional perusahaan. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa strategi ini tidak hanya gagal melindungi pekerja dari ancaman PHK, tetapi juga tidak mampu memberikan kepastian kerja.
PHK massal di Jawa Tengah membuktikan bahwa kebijakan upah murah adalah solusi yang keliru. Meskipun upah di provinsi ini lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain, ternyata tidak ada jaminan bahwa pekerja di sini akan terlindungi dari gelombang PHK. Ini adalah bukti bahwa upah murah tidak dapat menjadi tameng yang efektif terhadap krisis ketenagakerjaan yang lebih besar.
Kegagalan kebijakan upah murah ini semakin diperparah oleh dampak negatif dari UU Cipta Kerja. Undang-undang ini, yang disahkan dengan dalih meningkatkan fleksibilitas pasar kerja dan menarik investasi, justru mempermudah pengusaha untuk melakukan PHK. UU Cipta Kerja tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja, dan dalam kasus PHK massal ini, undang-undang tersebut justru berperan sebagai alat yang memfasilitasi praktik-praktik yang merugikan pekerja.
Dalam konteks Jawa Tengah, di mana upah sudah rendah, penerapan UU Cipta Kerja semakin memperburuk keadaan. Alih-alih memberikan perlindungan, UU ini justru memberikan keleluasaan lebih besar kepada pengusaha untuk melakukan PHK secara massal. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap para pekerja yang selama ini telah berjuang untuk memperoleh upah yang layak dan perlindungan kerja yang adil.
Pernyataan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, yang mengatakan bahwa pemerintah terus melakukan mitigasi untuk mencegah PHK, terdengar kosong dan tidak menyentuh akar permasalahan. Upaya mitigasi seperti mempertemukan manajemen dan pekerja hanyalah langkah kosmetik yang tidak akan menyelesaikan masalah secara fundamental. Selama UU Cipta Kerja tetap berlaku dan kebijakan upah murah masih dianggap sebagai solusi, angka PHK akan terus meningkat, dan kesejahteraan pekerja akan terus terancam.
Pemerintah seharusnya mengakui bahwa kebijakan mereka telah gagal. Untuk itu, tidak ada jalan lain selain mencabut UU Cipta Kerja dan meninggalkan paradigma upah murah yang sudah terbukti tidak efektif. Jika pemerintah serius dalam melindungi pekerja, mereka harus mengambil langkah nyata dengan memberlakukan kebijakan yang benar-benar berpihak pada pekerja, termasuk memastikan upah layak dan perlindungan kerja yang kuat.
Pemerintah tidak bisa terus menerus bersembunyi di balik retorika dan kebijakan yang gagal. Kesejahteraan buruh harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar catatan pinggir dalam pengambilan kebijakan. Sudah saatnya kita bersama-sama memperjuangkan masa depan yang lebih baik bagi para pekerja Indonesia, di mana upah layak dan perlindungan kerja bukanlah barang mewah, tetapi hak yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Mari kita bersatu untuk menolak kebijakan yang merugikan dan memperjuangkan kebijakan yang benar-benar melindungi hak-hak pekerja.