Purwakarta, KPonline-Mereka datang pagi, pulang malam. Berseragam rapi, tersenyum di balik meja resepsionis, berdiri tegak di pabrik, atau sibuk mengejar target penjualan. Tapi di balik formalitas dan sistem kerja modern itu, banyak pekerja Indonesia dan dunia, ternyata masih terjebak dalam bentuk baru perbudakan, perbudakan modern.
Perbudakan modern tak lagi berbicara tentang rantai besi atau cambuk pengawas. Kini, ia menjelma menjadi jam kerja tak manusiawi, upah minim di bawah kebutuhan hidup layak, kontrak kerja yang tak jelas, serta jeratan utang yang membuat buruh tak mampu meninggalkan pekerjaannya meski sudah tidak tahan secara fisik maupun mental.
Menurut laporan dari International Labour Organization (ILO), lebih dari 27 juta orang di seluruh dunia menjadi korban perbudakan modern, termasuk dalam bentuk kerja paksa, eksploitasi tenaga kerja anak, hingga penahanan dokumen oleh pemberi kerja.
Indonesia tidak lepas dari fenomena ini. Data serikat buruh menunjukkan bahwa ribuan buruh di sektor manufaktur, perkebunan, dan sektor informal seperti pekerja rumah tangga, kerap bekerja dalam kondisi yang melanggar HAM.
Salah satu contohnya adalah R, seorang pekerja perempuan di sebuah perusahaan elektronik di daerah Bekasi. Ia bekerja 14 jam sehari, tanpa kontrak resmi, dan hanya menerima Rp4 juta sebulan. Tak ada tunjangan, dan setiap protes terhadap suatu pelanggaran sistem ketenagakerjaan selalu berujung pada ancaman pemecatan.
“Saya takut dipecat, karena kalau keluar dari sini, saya tidak tahu harus makan dari mana,” kata R.
Kasus R bukanlah satu-satunya. Di perkebunan kelapa sawit Kalimantan, para buruh dipaksa menanggung biaya transportasi dan alat kerja mereka sendiri. Sementara di sektor perikanan, para nelayan migran dilaporkan bekerja hingga 20 jam sehari di kapal asing, tanpa akses untuk pulang.
Kelemahan Regulasi dan Lemahnya Pengawasan
Salah satu lembaga analisa data Indonesia pun menyebut bahwa salah satu akar dari maraknya perbudakan modern adalah lemahnya pengawasan ketenagakerjaan dan celah hukum dalam sistem kerja kontrak dan outsourcing.
“Banyak perusahaan memanfaatkan sistem kontrak yang bisa diperpanjang tanpa batas. Ini membuat pekerja hidup dalam ketidakpastian, mudah ditekan, dan takut bersuara,” ujar Selfi sebagai peneliti dan analisis dalam suatu lembaga di Jakarta.
Lebih jauh lagi, sistem outsourcing bahkan membuat tanggung jawab atas hak-hak buruh menjadi kabur. Perusahaan pengguna jasa seringkali lepas tangan terhadap kondisi kerja para pekerja yang secara administratif bukan pegawai tetap mereka.
Salah satu jalan keluar dari perbudakan modern adalah kebebasan berserikat. Namun banyak perusahaan justru menghalangi pembentukan serikat pekerja, bahkan tidak sedikit kasus intimidasi terhadap pengurus serikat.
“Jika pekerja bisa berserikat, maka ada wadah untuk memperjuangkan kondisi kerja yang manusiawi. Tapi hari ini, buruh yang berserikat dianggap ancaman,” kata Selfi.
Selfi juga mencatat bahwa di beberapa kawasan industri, pengurus serikat dipecat, diintimidasi, bahkan dimasukkan ke daftar hitam perusahaan.
Jeratan Utang dan Janji Palsu
Perbudakan modern juga menjelma lewat jeratan utang. Ribuan pekerja migran terpaksa menandatangani kontrak kerja yang tidak jelas dan harus membayar “biaya penempatan” yang besar. Akibatnya, mereka terjerat utang dan tidak bisa keluar dari pekerjaan mereka meski mengalami pelecehan, kekerasan, atau bahkan penyiksaan.
“Kami berangkat dengan janji akan mendapat gaji besar, tapi setibanya di luar negeri, semuanya berbeda. Paspor ditahan, kami tidak bisa keluar rumah, kerja dari pagi sampai malam,” ujar Nur, mantan pekerja migran asal Jawa Timur yang pernah bekerja di Timur Tengah saat dikonfirmasi Media Perdjoeangan pada jumat lalu, (20/6).
Solusi dan Jalan Panjang Pembebasan
Mengatasi perbudakan modern memerlukan kolaborasi banyak pihak: pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, LSM, dan masyarakat.
Langkah penting pertama adalah penegakan hukum yang kuat terhadap pelanggaran ketenagakerjaan, baik di sektor formal maupun informal. Pemerintah perlu memperkuat fungsi pengawasan dan memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar.
Kedua, diperlukan regulasi yang melindungi pekerja kontrak dan outsourcing secara adil. Pekerja harus mendapatkan hak yang setara dan perlindungan yang jelas, tanpa diskriminasi berdasarkan status kerja.
Ketiga, perusahaan harus mengambil bagian aktif dalam memastikan rantai pasok mereka bebas dari eksploitasi, dengan melakukan audit etis dan mematuhi prinsip kerja layak dari ILO.
Kesadaran Publik: Senjata yang Tak Boleh Diam
Masyarakat sebagai konsumen juga punya peran. Dengan menolak produk dari perusahaan yang terbukti mengeksploitasi buruh, kita bisa mendorong perubahan dari sisi permintaan.
“Kesadaran publik adalah tekanan paling kuat untuk mengakhiri perbudakan modern. Kita harus bicara, kita harus peduli,” tegas aktivis HAM, Anisa Rahman.
Berseragam, Tapi Masih Terjajah
Hari ini, perbudakan tidak lagi hadir dalam bentuk cambuk dan rantai. Ia hadir dalam target yang tak masuk akal, upah yang tidak manusiawi, status kerja yang menggantung, dan ketakutan untuk bersuara.
Jika dulu kita melawan penjajahan karena bangsa lain menindas, maka kini kita harus melawan perbudakan karena sistem yang tak adil menjajah sesama.
Saatnya membuka mata. Perbudakan belum berakhir, hanya berganti wajah.