Pasal Makar Akan Diuji Materi di Mahkamah Konstitusi

Jakarta, KPonline – Lembaga kajian hukum dan reformasi sistem peradilan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengajukan permohonan gugatan uji materi soal pasal makar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi.

Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu menilai, makna kata ‘makar’ dalam KUHP telah bergeser dari sumber asalnya, yakni kitab hukum Belanda. Akibatnya, kriteria penggunaan pasal makar ini pun menjadi tak jelas.

Bacaan Lainnya

“Pertanyaannya adalah apakah dengan penggunaan kata ‘makar’ sehingga maknanya jadi berubah? Dari keputusan-keputusan yang kami kaji, maknanya jadi berubah,” kata Erasmus di Gedung MK, Jakarta, Jumat (16/12/2016).

“Makar itu tidak dimaknai lagi serangan. Itu alasan kami sebenarnya kenapa kami mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Supaya kemudian Mahkamah Konstitusi menterjemahkan makar ini serangan. Jadi unsur makar ini tidak boleh dipisahkan dari serangan,” jelasnya lagi.

Peneliti ICJR sekaligus kuasa hukum pemohon itu menekankan, uji materi pasal tersebut bukan bermaksud menghapus pasal-pasal terkait upaya makar dari KUHP. Melainkan, agar lembaga peradilan memperjelas definisi dan kriteria makar ini sehingga ada kepastian hukum dalam penerapannya.

Sebab bagaimanapun menurut Erasmus, KUHP memang tetap harus mengatur sanksi hukum bagi upaya penjatuhan pemerintahan yang sah.

Pada kitab asalnya, Belanda menggunakan istilah anslaag yang berarti ‘serangan’. Sehingga harus ada rencana atau upaya penyerangan, atau pengerahan massa dengan tujuan menciptakan kekacauan (chaos) untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.

“Kalau ada keanggotaan di angkatan bersenjata lain, kamu bawa granat lempar ke presiden, atau diketahui ada rencana itu, itu ada serangan. Tapi kalau demo, tuntutannya menjatuhkan presiden, demo mahasiswa biasanya tuntutannya paling jauh apa sih? Turunkan Presiden kan? Nah ini enggak bisa dikatakan makar kalau cuma begitu.”

Korban Pasal ‘Makar’

Selama ini, pasal makar kerap digunakan untuk orang yang menyuarakan aspirasinya bahkan dengan jalan damai. ICJR mengumpulkan beberapa dakwaan jaksa yang menggunakan pasal makar namun tidak dimaknai sebagai serangan.

Pada 2012 misalnya, Mahkamah Agung memutuskan bersalah Sehu Blesman, Ketua Panitia Hari Perayaan Kemerdekaan Papua Barat. Dia dipidana 5 tahun penjara dijerat dengan pasal makar. Dakwaan jaksaan tidak menjelaskan unsur serangan yang dilakukan terpidana. Jaksa hanya menjabarkan niat terpidana memisahkan diri dari Indonesia.

Empat tahun sebelumnya, Yakobus Pigai dipidana makar 5 tahun penjara karena mengibarkan Bendera Bintang Kejora. Pada tahun yang sama, Stepanus Tahapary juga diganjar hukuman pidana makar karena menyimpan dokumentasi konflik Maluku, pelaksanaan HUT Republik Maluku Selatan, dan upacara bendera Republik Maluku Selatan (RMS).

ICJR melihat ada kesamaan dalam tiga dakwaan tersebut. Tidak ada uraian soal unsur serangan yang dimaksud, dan hanya menyebut niat para terpidana untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Sebelumnya, ICJR sempat meminta DPR mendefinisikan istilah ini dalam pembahasan revisi KUHP yang sedang berjalan. Namun hal tersebut tak ditanggapi. Untuk itu, mereka mengajukan gugatan ke MK untuk pasal 87, pasal 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 KUHP. (ika)

Isu Makar Menguat Kembali

Belakangang, polisi juga memanggil Presiden dan Sekjen KSPI sebagai saksi terkait makar. Ini menandakan bahwa isu makar merupakan sesuatu yang serius.

Terlebih lagi, beberapa nama sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Kivlan Zen, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko, Alvin Indra, dan Rachmawati Soekarnoputri. Mereka dijerat dengan Pasal 107 jo Pasal 110 jo Pasal 87 KUHP.

Senin (19/12/2016), Kepolisian Manado bahkan menangkap  72 Mahasiswa asal Papua dari beberapa kampus di Sulut yang dianggap melakukan makar. Para mahasiswa itu, rencananya  akan berunjukrasa di gedung DPRD Provinsi Sulawesi Utara.

Kapolres Kota Manado,  Hisar Sialagan mengatakan para mahasiswa tersebut akan melakukan demonstrasi damai tetapi pihak kepolisian tidak memberikan izin. Dia beralasan  karena dalam aksinya akan melakukan Referendum dan ingin mendirikan Negara Papua Barat.

“Mereka mengajukan izin, dan pada saat kita sebelum mengeluarkan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan), kita lihat ternyata mereka mau referendum, Negara Papua Barat dan segala macam dan ini di luar kerangka kita. Kita tidak mengeluarkan STTP dan mereka tetap laksanakan demo maka kita bawa  dan periksa,” ujar Kapolres Manado  Hisar Sialagan, Senin (19/12).

Hisar Sialagan menyampaikan, ada sebanyak 72 mahasiswa yang ditangkap untuk diperiksa oleh pihak penyidik.

“Referendum, mendirikan negara sendiri   segala macam. Tidak sesuai dengan Undang Undang Dasar, Pancasila dalam rangkaian NKRI. Semua yang tidak sesuai kita proses. Ini sekarang sedang diperiksa oleh reserse dan  nanti kita putuskan apakah bisa kita proses kalau memang memenuhi unsur  kita proses,” ujar   Hisar Sialagan.

Para Mahasiswa asal papua tersebut ditangkap pihak kepolisian sewaktu berkumpul di asrama  dekat salah satu kampus di Manado. Sebagian lainnyanya  ditangkap di Kantor DPRD Sulut saat hendak   melakukan unjuk rasa damai. (*)

Sumber: kbr.id

 

Pos terkait