Jakarta, KPonline – Menjelang akhir tahun 2016, isu makar menerpa pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Bahkan Presiden KSPI Said Iqbal dan Muhamad Rusdi yang saat itu menjabat sebagai Sekjen KSPI diperiksa Polda Metro Jaya sebagai saksi dugaan tindak pidana kejahatan makar.
Buruh menilai, hal ini adalah pembungkaman terhadap aktivis yang kritis terhadap pemerintah.
Sebelumnya, Kepolisian telah menetapkan 12 tokoh menjadi tersangka. Sebelas tokoh diciduk di beberapa lokasi berbeda menjelang aksi damai pada Jumat (2/12/2016). Satu tokoh lagi diciduk, Kamis (8/12/2016) dini hari.
Delapan orang yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan upaya makar, yakni mantan anggota staf ahli Panglima TNI Brigadir Jenderal (purn) Adityawarman Thaha, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (purn) Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang Ideologi Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Ketua Bidang Pengkajian Ideologi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo, aktivis Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein, dan tokoh buruh Alvin Indra Al Fariz.
Tiga tersangka yang lain, Ketua Komando Barisan Rakyat Rizal Izal, Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta Utara Jamran, Hatta Taliwang disangka melakukan penyebaran ujaran kebencian. Sedangkan, Ahmad Dhani disangkakan melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi.
Suara-Suara Kritis Jangan Dibungkam
Said Iqbal membantah massa buruh terlibat dugaan upaya makar. Bahkan KSPI berpendapat, penangkapan dan penetapan tersangka terhadap tokoh-tokoh tersebut bisa mengganggu proses berjalannya demokrasi di Indonesia.
Menurut KSPI, delapan tokoh tersebut hanya mengeluarkan pandangannya untuk bersikap kritis. Orang kritis itu jangan dibungkam dengan tuduhan yang berat sehingga demokrasi nggak sehat, demokrasi yang sehat kalu ada check and balance.
Seseorang yang bersikap kritis itu wajar. Oleh karena itu buruh berpendapat check and balance dalam negara berdemokrasi itu penting.
Buruh tidak pernah berpikir makar, tidak ada rencana buruh melakukan makar. Sejauh ini kita lihat tidak ada upaya untuk gerakan makar terhadap negara. Adapun aksi 2 Desember yang dilakukan massa KSPI di Tugu Tani yang bersamaan dengan aksi ‘Bela Islam III’, tidak pernah ditunggangi untuk dugaan makar. Ia kembali menegaskan bahwa aksi tersebut murni untuk memperjuangkan nasib buruh.
Sementara itu, tokoh nasional Rachmawati Soekarnoputri tidak pernah menghubungi Presiden KSPI Said Iqbal, apalagi meminta untuk menurunkan massanya dalam aksi yang direncanakan tanggal 2 Desember 2016 lalu.
Bahkan, menurut putri Bung Karno itu, dirinya tidak mengenal Said Iqbal. Menurutnya, aksi yang mereka rencanakan pada tanggal 2 Desember 2016 dalam rangka solidaritas terhadap perjuangan kelompok Muslim terkait dengan penistaan agama Islam yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Serta, yang sudah menjadi concern Rachma sejak lama, menyerahkan petisi kembali ke UUD 1945 yang asli kepada pimpinan MPR RI. “Saya tidak mengenal Said Iqbal. Jadi tidak ada hubungannya antara aksi yang direncanakan Gerakan Selamatkan NKRI (Rachma Cs.) dengan KSPI,” kata Rachma, melalui siaran pers yang diterima redaksi, Selasa (13/12).
Pernyataan Rachma ini disampaikan untuk meng-counter pernyataan Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan yang mengatakan bahwa Rachma sempat meminta agar KSPI ikut dalam aksi kembali ke UUD 1945 yang asli.
Namun, menurut Kapolda Metro Jaya, Said Iqbal tidak merespon. Dalam wawancara yang diterbitkan salah satu majalah itu, Kapolda Metro Jaya juga mengatakan dirinya lah yang meminta agar Iqbal tidak turun.
“Pernyataan itu tidak benar. Saya tidak mengenal Said Iqbal dan tidak pernah meminta dia ikut kami (Gerakan Selamatkan NKRI). Yang saya dengar massa KSPI turun di depan Istana, dekat dengan lokasi aksi 212 di Silang Monas,” kata Rachma menegaskan.