Purwakarta, KPonline – Sistem kerja outsourcing atau alih daya kembali menjadi sorotan tajam di tengah meningkatnya ketimpangan hubungan industrial di Indonesia belakang ini. Meski dianggap efisien oleh kalangan pengusaha, sistem ini terus menuai penolakan keras dari kalangan buruh dan serikat pekerja. Bagi mereka, outsourcing bukan hanya persoalan ketidakpastian kerja, melainkan simbol ketidakadilan struktural yang terus dibiarkan berakar dalam sistem ketenagakerjaan nasional.
#Efisiensi Versus Eksploitasi
Dalam teori ekonomi, outsourcing kerap dipandang sebagai langkah strategis perusahaan untuk menekan biaya operasional dan meningkatkan fokus pada kegiatan inti (core business). Namun, kenyataannya di lapangan menunjukkan sisi gelap dari praktik ini. Pekerja outsourcing, yang seringkali bekerja di sektor-sektor krusial seperti keamanan, kebersihan, pergudangan hingga layanan pelanggan, justru menjadi kelompok yang paling rentan terhadap pelanggaran hak-hak dasar ketenagakerjaan.
Dan biasanya pekerja outsourcing bila mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), mereka tidak mendapatkan uang pesangon. Padahal, pekerjaan mereka seperti karyawan tetap, tapi diperlakukan seperti barang sewaan.
#Payung Hukum yang Lemah dan Rentan Disalahgunakan
Keberadaan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) waktu itu sebelum dimenangkan oleh Partai Buruh melalui Judicial Review telah memperkuat legitimasi sistem outsourcing, dengan dalih memberikan fleksibilitas pada dunia usaha. Namun, banyak pihak menilai bahwa regulasi ini justru semakin membuka ruang eksploitasi. Dimana, dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan hasil revisi, penggunaan tenaga kerja outsourcing tidak lagi dibatasi pada jenis pekerjaan tertentu, sehingga perusahaan dapat mengalihdayakan hampir seluruh lini produksi.
Dan ini merupakan bentuk liberalisasi tenaga kerja yang dilegalkan. Outsourcing kini tak punya batas. Semua bisa dialihdayakan, termasuk pekerjaan inti.
Ketidakpastian Masa Depan Pekerja
Salah satu dampak paling merusak dari sistem ini adalah ketidakpastian masa depan para pekerja. Kontrak kerja pendek, gaji yang lebih rendah dibandingkan pekerja tetap, serta absennya jaminan sosial yang memadai menjadikan para buruh outsourcing hidup dalam tekanan psikis yang terus-menerus.
Laporan dari International Labour Organization (ILO) menyoroti bahwa tenaga kerja alih daya di negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung mengalami kondisi kerja yang lebih buruk dibandingkan pekerja tetap. Mereka memiliki akses yang lebih terbatas terhadap pelatihan kerja, promosi, serta perlindungan terhadap kecelakaan kerja.
#Harapan Akan Reformasi Ketenagakerjaan
Senada dengan hal yang sama, para pengamat ketenagakerjaan pun mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik outsourcing. Dibutuhkan reformasi regulasi yang menyeimbangkan kepentingan dunia usaha dengan hak-hak pekerja.
“Singkatnya, tidak anti-outsourcing, tapi harus ada batasan yang jelas. Pekerjaan inti perusahaan harus dikerjakan oleh pekerja tetap. Jangan semua dialihdayakan atas nama efisiensi.
Kesimpulannya adalah sistem kerja outsourcing, dalam praktiknya, telah menciptakan jurang ketimpangan antara fleksibilitas perusahaan dan stabilitas pekerja. Jika terus dibiarkan tanpa pengawasan ketat dan regulasi yang berpihak pada keadilan, sistem ini bukan hanya akan mengorbankan masa depan para buruh, tapi juga menggerogoti fondasi sosial bangsa.
Outsourcing mungkin memberikan keuntungan jangka pendek bagi perusahaan. Namun, untuk membangun ekonomi yang adil dan berkelanjutan, negara tak boleh abai terhadap suara kelas pekerja yang selama ini terus berjuang dalam senyap.



