Omah Buruh: Tempat Kami Menyatukan Hati (3)

Ini adalah bagian ketiga dari artikel bertema Omah Buruh yang ditulis Muhammad Indrayana. Dalam tulisan kedua, Indra menceritakan ketika gerakan buruh makin menguat, intimidasi terhadap aktivis makin sering terjadi. Dia merasakan langsung, saat tetangganya didatangi preman dan salah satu diantaranya membawa pistol. Bagian kedua tulisan ini bisa dibaca di sini: Omah Buruh: Intimidasi Itu Nyata di Depan Mata (2)

Bekasi, KPonline – Setelah istriku melihat langsung adanya intimidasi terhadap pengurus serikat pekerja, dia berharap kalau aku kembali berpikir ulang tentang keberadaanku di serikat pekerja. Meskipun kenyataannya bukan aku yang dicari para preman itu, tetapi tidak menutup kemungkinan suatu saat aku yang akan dicari.

Bacaan Lainnya

Kekhawatiran yang wajar. Normal. Dia tidak ingin kejadian yang menimpa tetanggaku itu terjadi padaku.

Setelah preman itu pergi, aku tak banyak bicara. Sebab aku juga mengalami perasaan yang sama. Mengkhawatirkan keselamatannya. Tentu saja, aku tidak mau istri dan anakku yang tidak tahu menahu persoalan ini ikut terlibat menanggung resikonya. Sore itu, aku mengajak istriku untuk pergi menyusul tetanggaku ke Omah Buruh. Sebagai seorang lelaku yang bertanggungjawab (gubrak), aku tak ingin meninggalkan istriku khawatir sendirian di dalam rumah.

Di sepanjang perjalanan ke Omah Buruh, anakku tak henti-hentinya bertanya mau kemana tujuan kami. Aku semakin kalut. Apalagi dengan ucapan istriku tadi. Semakin membuatku gamang untuk meneruskan aktivitasku di organisasi ini .

“Apa yang aku perbuat salah?” Batinku.  Ketika kupandangi anakku yang masih kecil, membuat hatiku goyah.

Berhenti atau meneruskan langkah menjadi pilihan yang tak mungkin aku hindari saat ini.

Jalan antara Graha Asri dan Omah Buruh memang lumayan jauh. Ditambah dengan kemacetan yang ada, makin memperlambat kedatanganku sampai ke Omah Buruh. Di tengah perjalanan terlihat pemandangan yang tak biasa. Banyak kendaraan bermotor yang lain dari pada yang lain. Sebagian besar berboncengan. Bahkan ada yang dalam satu motor terdiri dari tiga orang. Ada apakah ini? Padahal musim kampanye masih jauh. Waktu itu, aku masih teringat betul, bulan November.

Di jalan, mereka meneriakkan, “Hidup buruh!”

Ternyata mereka adalah buruh di suatu pabrik di kawasan Jababeka 1 yang ter-PHK. Sama seperti kami, mereka naik motor dari Jababeka menuju Omah Buruh dengan tujuan menyatukan gerak langkah melawan kedzoliman para pengusaha hitam.

“Ayaaah,” anakku memecah kesunyian di dalam mobil yang kami kendarai.

“Ya, sayang. Ada apa?” Jawabku sambil tetap konsentrasi mengemudikan mobil sambil sekali-kali melirik istriku yang dari rumah tadi sudah menangis karena tak ingin kami celaka hanya gara-gara aktif di organisasi buruh FSPMI.

“Itu teman-teman Ayah, ya. Seneng ya Yah punya banyak teman.” Lanjut anakku sambil menggendong boneka Hello Kity.

“Kata ustadzah, punya banyak teman akan membuka banyak pintu rejeki ya. Emang rejeki punya pintu ya, Yah? Terus kata ustadzah, Allah akan melipatgandakan amalan kita kalau kita berjamaah ya.”

Barangkali anakku tidak begitu memahami apa yang sedang terjadi. Tetapi yang jelas itu makin memperunyam keputusan yang akan aku buat nanti. Aku yakin, jalan telah terbuka dengan omongan anak kecil ini. Tinggal bagaimana kami yang dewasa ini menyikapinya.

Sampailah kami di Omah Buruh. Suasananya sangat ramai. Melebihi ramainya mall di malam Minggu. Semua sudut yang ada penuh dengan buruh-buruh yang melakukan konsolidasi.

Banyak diantara mereka yang melakukan orasi. Diantaranya bang Wowo, mbah Pujo, bung Amier, serta Pangkorda Garda Metal Bekasi bung Supriyatno. Mereka orang-orang yang memang benar-benar menghibahkan sebagian hidup mereka ke pergerakan serikat buruh. Aku juga melihat mas Kardi, tetanggaku dan beberapa rekan kerjanya sedang fokus dengan materi yang di sampaikan oleh seorang tim advokasi Pimpinan Cabang SPL FSPMI, yakni mas Wit.

Di sini, di Omah Buruh, hati kami saling bertaut. Perasaan senasib sepenanggungan. Susah sama-sama, senang sama-sama. Berjamaah dalam berjuang.

Melihatku datang dengan keluarga ke Omah Buruh, tetanggaku ini menghampiriku. Aku memberitahu bahwa tadi di rumah ada yang mencarinya. Besar kemungkinan mereka adalah ormas tertentu yang di sewa oleh perusahaan untuk mengintimidasi.

Tetanggaku membenarkan pernyataanku ini. Memang saat ini para pengurus PUK di tempatnya bekerja sedang diintimidasi. Kebebasan berserikat dan berkumpul telah di kebiri oleh pengusaha asal Korea dengan menyewa beberapa preman dan oknum ormas bayaran.

Tak hanya pekerja di pabrik itu sendiri yang menerima intimidasi dari perusahaan. Menurut informasi yang saya dapat waktu itu, tim advokasi dari Pimpinan Cabang juga diintimidasi berupa ancaman baik secara pribadi maupun keluarganya. Bahkan mereka datang ke tempat kerja mereka. Menyusul hingga ke rumah.

Tapi hal itu tak membuat nyali mereka ciut. “Perjuangan harus tetap dilanjutkan,” begitu kata tetanggaku ini. Aku semakin salut dengan mereka.

Di sela-sela acara konsolidasi beberapa PUK, banyak juga ibu-ibu yang membawa serta anaknya. Mereka tak peduli dengan sikap manajemen yang mengintimidasi mereka.

Mereka sadar, keadilan harus mereka ditegakkan. Disaat banyak ketidakadilan di negrei ini, mereka masih percaya dengan gerak dan langkah mereka bahwa dengan bersama mereka yakin bisa Mereka membuktikan itu. Sesuatu yang membuat jiwa dan raga saya semakin mantap untuk tetap berada di barisan para pejuang, yang rindu akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bekasi, 2 April 2014
Penulis: Muhammad Indrayana
Fotografer: Iwan Budi Santoso

Tulisan lain terkait Omah Buruh:

Omah Buruh: Kesetiaan yang Tak Tergantikan (1)

Omah Buruh: Intimidasi Itu Nyata di Depan Mata (2)

Omah Buruh: Tempat Kami Menyatukan Hati (3)

Omah Buruh: Saat Mereka Membutuhkan Bantuan (4)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *