Menguak Kejayaan Industri Tekstil Indonesia yang Kini Mati Suri

Menguak Kejayaan Industri Tekstil Indonesia yang Kini Mati Suri

Purwakarta, KPonline – Industri tekstil Indonesia pernah berjaya. Menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu eksportir produk tekstil terbesar di dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, cahaya kejayaan itu semakin meredup. Pabrik-pabrik tutup, ribuan pekerja dirumahkan, dan geliat ekonomi di sentra-sentra tekstil kian merosot.

#Era Kejayaan yang Mengakar

Bacaan Lainnya

Pada dekade 1980-an hingga awal 2000-an, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tumbuh pesat. Dengan dukungan biaya tenaga kerja yang kompetitif dan pasar global yang terbuka, Indonesia menempati posisi strategis dalam rantai pasok tekstil dunia.

“Dulu, ekspor TPT kita bisa menembus lebih dari USD 13 miliar per tahun, menyumbang hampir 12% dari total ekspor nasional,” kata Joni Haryanto, ekonom dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finance). “Sentra-sentra industri seperti Bandung, Majalaya, Cimahi, dan Solo penuh dengan aktivitas produksi.”

Kawasan Majalaya di Jawa Barat bahkan dijuluki “Kota Tekstil”, tempat ribuan mesin tenun berputar tanpa henti siang malam. Tekstil menjadi nadi kehidupan masyarakatnya. Anak-anak muda berbondong-bondong bekerja di pabrik. Pemerintah pun memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan fiskal, pelatihan, dan akses ekspor.

Namun, semua berubah dalam dua dekade terakhir.

#Kemerosotan Bertahap: Ketika Impor Menyapu Pasar

Tekanan mulai datang dari berbagai penjuru, namun penyebab terbesar yang disebut pelaku industri adalah membanjirnya produk tekstil impor murah, khususnya dari Tiongkok, India, Bangladesh, dan Vietnam.

Menurut data terbaru dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), impor tekstil tumbuh rata-rata 10–12% setiap tahun sejak 2015. Banyak dari produk ini masuk dengan harga yang sangat murah, bahkan di bawah harga pokok produksi nasional. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar diduga masuk secara ilegal atau melalui pelabelan ulang (undervaluation).

“Bayangkan, kain katun dari China dijual di Pasar Tanah Abang seharga Rp6.000 per meter, sementara biaya produksi kita saja sudah Rp8.000–Rp10.000. Bagaimana kami bisa bersaing?” ujar Jemmy Kartiwa, Ketua Umum API.

Impor yang tidak terkendali ini membuat banyak pelaku industri lokal tak sanggup bertahan. Berdasarkan laporan Kementerian Perindustrian, lebih dari 120 pabrik tekstil tutup atau berhenti produksi sepanjang 2023 hingga pertengahan 2025. Sekitar 64.000 pekerja kehilangan pekerjaan.

#Beban Biaya Produksi dan Regulasi Berbelit

Selain faktor eksternal, masalah internal pun menambah beban industri. Biaya listrik industri yang tinggi, tarif pajak ganda, sulitnya akses bahan baku berkualitas, serta minimnya insentif untuk modernisasi mesin menjadi hambatan utama.

“Vietnam dan Bangladesh bisa menawarkan tarif listrik dan upah buruh yang jauh lebih rendah, dengan regulasi yang tidak serumit di sini,” kata Udin, pengusaha tekstil asal Jawa Barat. “Kami harus membayar pajak tinggi, biaya distribusi mahal, dan akses ke pembiayaan juga sulit”

Sementara negara tetangga seperti Vietnam justru agresif menarik investor asing dengan menyediakan kawasan industri tekstil terpadu dan insentif fiskal, Indonesia tertinggal dalam reformasi strukturalnya.

#Dampak Sosial Ekonomi yang Menghantam Daerah

Di banyak daerah sentra tekstil seperti Majalaya, Bandung Selatan, atau Tegal, perubahan ini meninggalkan luka sosial yang mendalam. Banyak pekerja yang kini menganggur dan terpaksa beralih ke sektor informal.

“Saya dulu operator mesin tenun di pabrik selama 12 tahun. Setelah pabrik tutup tahun lalu, sekarang saya jual gorengan di pinggir jalan,” tutur Siti (42), warga Majalaya. “Anak saya juga jadi ojek online. Tidak ada pilihan lain.”

Penutupan pabrik juga berdampak pada rantai ekonomi lokal. Warung makan, toko bahan kimia, jasa logistik, hingga tukang becak yang biasanya mengandalkan keramaian karyawan pabrik kini ikut sepi pelanggan.

#Peluang dan Jalan Menuju Kebangkitan

Meski kondisi terlihat suram, harapan untuk bangkit belum sepenuhnya hilang. Pemerintah telah meluncurkan beberapa program pemulihan industri, termasuk insentif pajak untuk industri padat karya, kemudahan impor bahan baku, serta promosi produk lokal melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI).

Namun, pelaku industri menilai kebijakan ini masih belum menyentuh akar permasalahan. Penegakan hukum terhadap impor ilegal, reformasi biaya produksi, dan percepatan insentif investasi dinilai sebagai langkah nyata yang mendesak dilakukan.

“Selama kita belum bisa melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk murah dan biaya operasional yang mencekik, sulit bicara soal kebangkitan,” tegas Jemmy dari API.

Singkatnya, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam industri tekstil. Dari batik, tenun, hingga produk massal untuk pasar global. Namun sejarah tidak bisa dijadikan jaminan masa depan. Tanpa langkah cepat, strategis, dan tegas, industri tekstil nasional hanya akan menjadi cerita nostalgia di buku sejarah ekonomi.

“Kita punya potensi, punya pasar, dan punya sumber daya manusia. Yang kurang hanya perlindungan dan keberpihakan nyata,” pungkas Jemmy.

Pos terkait