Kriminalisasi Aktivis Pemerintah Dituding Bungkam Gerakan Rakyat

Gerakan Buruh Indonesia selenggarakan Konferensi Pers di LBH Jakarta, Rabu (9/3/2016).| Foto: Kascey
Gerakan Buruh Indonesia selenggarakan Konferensi Pers di LBH Jakarta, Rabu (9/3/2016).| Foto: Kascey

Jakarta, KPonline – Pengacara publik LBH Jakarta Maruli Tua Radjaguguk menyampaikan, kriminalisasi yang dilakukan terhadap 23 orang buruh, 2 orang pekerja bantuan hukum LBH Jakarta, dan 1 orang mahasiswa terjadi karena adanya persongkokolan antara pemodal dan penguasa. Dalam hal ini, kriminalisasi dilakukan dengan menggunakan tangan kepolisian dan militer. Tidak hanya buruh, seorang guru honorer asal Brebes, juga dikriminalisasi.

Hal ini disampaikan Maruli dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (9/3/2016). Selanjutnya ia menyampaikan, “Kita harus jeli melihat mana penegakan hukum yang dilakukan untuk keadilan, dan mana penegakan hukum yang dilakukan untuk membungkam gerakan rakyat.”

Bacaan Lainnya

Terkait adanya dua orang pekerja bantuan hukum yang juga ikut dijadikan tersangka bersama-sama dengan 23 orang buruh dan 1 orang mahasiswa, Maruli menganggap  kepolisian seolah merendahkan kecerdasan dengan menabrak UU Bantuan Hukum dan UU Advokat.

“Orang yang sedang menjalankan tugas sesuai dengan yang diperintahkan Undang-undang tidak boleh dipidana. Dalam aksi tanggal 30 Oktober 2015 itu, pengacara publik LBH Jakarta dan Polisi sama-sama menjalankan tugas dalam konteks sebagai penegak hukum. Dengan melakukan penangkapan dan menjadikannya sebagai tersangka, kepolisian telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan,” kata Maruli.

Ini artinya, demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat terancam. Jika advokat atau pengacara saja, yang dalam menjalankan tugasnya memiliki imunitas karena dilindungi Undang-undang bisa ditangkap, bagaimana dengan gerakan sosial yan lain?

Mengenai aksi buruh di depan Istana Negara tanggal 30 Oktober 2015 yang kemudian dijadikan alasan untuk menjadikan 26 orang sebagai tersangka, secara hukum seharusnya masalah ini berhenti saat pembubaran. Karena pembubaran adalah sanksi ketika menjalankan hak menyampaikan pendapat. Sanksi tidak boleh ganda. Ketika buruhnya sudah bubar, seharusnya selesai sampai disitu.

Selanjutnya, Maruli menegaskan, “Meskipun ancaman hukumannya hanya 4 bulan, tetapi bukan itu masalahhnya. Permasalahan yang utama adalah, hukum hanya digunakan untuk membungkam gerakan rakyat yang sedang berjuang untuk mendapatkan haknya.

Sementara itu, di tempat yang sama Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, dengan mengkriminalisasi 23 buruh, 2 pemgacara publik, dan 1 mahasiswa dan baru-baru ini juga menimpa seorang guru honor asal Brebes, penguasa sedang memberikan pesan jika siapa yang melakukan aksi di depan Istana, akan dikriminalisasi.

Iqbal menduga, ini adalah perintah Menkopulhukam yang sering mengatakan “libas” dan “tembak” kepada pendemo.“Mengapa hanya berani kepada orang-orang kecil yang memperjuangkan haknya? Mengapa Menkopulhukam tidak melibas dulu kasus dugaan korupsi rumah sakit Sumber Waras dan kasus papa minta saham di Freeport? Mengapa kasus-kasus itu tidak ada tindakan tegas? Apakah jangan-jangan mereka yang mengatur?” demikian Iqbal menyampaikan.

Karena itu, Iqbal meminta agar hakim mempunyai keberanian.

“Hakim jangan mau diintervensi kekuasaan. Pengadilan jangan sampai menjadi bagian dari konspirasi jahat untuk membungkan gerakan rakyat yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” tegasnya. (*)

Pos terkait