Jangan Bodohi Masyarakat

Jakarta, KPonline – Saya setuju dengan pernyataan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto. Bahwa kenaikan upah pasti ada multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi secara global. Dampaknya ke berbagai sektor akan berbeda, dipengaruhi komposisinya.

“Tapi pasti ada pengaruh. Yang jelas dengan UMP akan menaikkan kesejahteraan buruh dan daya beli‎ masyarakat,” tegasnya.

Bacaan Lainnya

Mestinya, karena pernyataan ini disampaikan oleh Kepala BPS, Kepala Daerah tak perlu ragu menaikkan upah buruh hingga pada tingkat yang layak. Apa itu layak? Bagi sederhana. Upah layak adalah, upah yang ketika dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, masih ada sisa untuk ditabung. Bukan seperti sekarang, setiap bulan buruh nombok, ibaratbesar pasak daripada tiang.

Apalagi, sebelumnya, peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara juga mengatakan hal yang senada.

Kata Bhima, “Pemerintah perlu menimbang peningkatan upah minimum diatas inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tujuannya untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga menempati posisi tertinggi terhadap perekonomian yaitu 55,2% terhadap porsi PDB. Oleh karena itu, peningkatan upah diatas formulasi PP 78/2015 akan meningkatkan konsumsi. Efeknya permintaan barang secara umum akan naik, dan industri diharapkan kembali pulih dan tumbuh diatas 5%.”

Catat baik-baik. Kenaikan upah semestinya lebih tinggi dari formulasi PP 78/2015, yang hanya mematok pertumbuhan ekonomi dan inflansi.

Itulah sebabnya, saya menolak pendapat Suhariyanto yang mengatakan, formula kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sudah sangat baik. Ini justru inkonsisten. Satu sisi dia mengatakan kenaikan upah mampu meningkatkan kesejahteraan dan daya beli, satu sisi justru memberikan pembatasan atas kenaikan itu.

Terlebih ketika dia mengatakan, “Formula dalam PP itu, UMP kenaikannya dengan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan dengan menggunakan inflasi saja sebenarnya daya belinya akan tetap terjaga karena kemampuan masyarakat dikompensasikan.” Saya kira, Suhariyanto melupakan satu hal. Bahwa kebutuhan terbesar buruh ada pada kebutuhan tempat tinggal, konsumsi, dan transportasi.

Padahal persis pada item ini, lonjakan harga kebutuhan sangat tinggi. Sementara besarnya inflansi melihat banyak aspek, sehingga karena banyaknya pembagi, maka nilainya lebih kecil dari kenaikan harga-harga pada item sewa rumah, konsumsi, dan transportasi. Mengutip data yang disajikan Bhima, konsumsi rumah tangga menempati posisi tertinggi terhadap perekonomian yaitu 55,2% terhadap porsi PDB.

Itulah mengapa, buruh menuntut kenaikan upah berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang disesuaikan dengan kebutuhan real. Tentu saja, KHL tidak satu-satunya, tetapi juga melihat faktor pertumbuhan ekonomi dan inflansi. Pendek kata, memaksakan kenaikan upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflansi semata-mata, justru secara real menyebabkan nilai upah terus menerus mengalami penurunan.

“Dengan ada formula ini, maka ada kepastian bagi semua pihak akan besaran kenaikan upah minimum tersebut,” kata Suhariyanto. Lagi-lagi, pernyataan Suhariyanto bertentangan dengan satu fakta, tanpa formula kenaikan sebagaimana yang diatur dalam PP 78/2015 pun, katakanlah sejak tahun 2012, upah buruh selalu mengalami kenaikan. Bahkan lebih besar dari sekedar nilai pertumbuhan ekonomi dan inflansi.

Atas dasar itu, saya ingin menyampaikan satu kalimat saja.

“Jangan membodohi masyarakat, bahwa seolah-oleh upah naik karena adanya PP 78/2015.” (*)

Kahar S. Cahyono, penulis merupakan Wakil Presiden DPP FSPMI.

 

Pos terkait