Ini Bahayanya Kenaikan Upah Menggunakan Formula PP 78/2015

Jakarta, KPonline – Pemerintah perlu menimbang peningkatan upah minimum diatas inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tujuannya untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga menempati posisi tertinggi terhadap perekonomian yaitu 55,2% terhadap porsi PDB. Peningkatan upah diatas formulasi PP 78/2015 akan meningkatkan konsumsi. Efeknya permintaan barang secara umum akan naik, dan industri diharapkan kembali pulih dan tumbuh diatas 5%. Hal ini disampaikan peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara dalam tulisannya berjudul Stimulus Kenaikan Upah di neraca.co,id, Senin (31/10).

Menurut Bhima, kebijakan kenaikan upah minimum juga dilakukan di negara-negara lain misalnya Amerika Serikat dan Brazil saat ekonomi mengalami kelesuan. Sekali lagi, tujuannya adalah stimulus ekonomi. Ujungnya baik pengusaha dan buruh sama-sama mendapatkan manfaat dari kenaikan upah minimum ini.

Bacaan Lainnya

Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan PP 78/2015, formulasi kenaikan upah berdasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Inflasi mencerminkan daya beli sedangkan pertumbuhan ekonomi jadi cerminan produktivitas nasional. Itu artinya, kenaikan rata-rata upah minimum ditetapkan sebesar 8,25% secara nasional.

Sementara itu kondisi perekonomian di tahun 2017 diprediksi akan mengalami perlambatan. Hal ini tercermin dari asumsi makro pertumbuhan ekonomi versi Pemerintah yang dipatok 5,1% lebih rendah dari rencana awal 5,3% dalam APBN 2017.

“Salah satu alasan melambatnya pertumbuhan ekonomi adalah adanya penurunan daya beli. Banyak indikator yang mencerminkan penurunan daya beli, mulai dari rendahnya inflasi karena permintaan agregat turun, penjualan kendaraan bermotor lesu, sampai pertumbuhan kredit yang rendah,” urai Bhima.

Di saat ekonomi sedang mengalami perlambatan, Pemerintah mengeluarkan aneka kebijakan, baik fiskal maupun moneter sebagai stimulus. Sayangnya baik dari sisi fiskal maupun moneter nampaknya stimulus yang diberikan belum efektif. Pemotongan anggaran belanja Pemerintah yang cukup besar jelas berdampak pada kemampuan Pemerintah menggerakan perekonomian. Porsi konsumsi Pemerintah yang sebesar 9,44% terhadap PDB di triwulan ke-2 diprediksi akan mengalami penurunan. Artinya belanja Pemerintah sebagai stimulus ekonomi tidak bisa diharapkan.

Sementara itu dari sisi moneter, kebijakan penurunan suku bunga hasilnya masih terbatas. Transmisi penurunan suku bunga lebih berpengaruh ke sisi bunga deposito dibandingkan bunga kredit. Walaupun BI telah memangkas lebih dari 100 basis poin sejak akhir 2015 lalu. Nyatanya harapan menurunkan bunga kredit untuk memacu pertumbuhan ekonomi masih jauh dari harapan.

Oleh karena itu, kata Bhima, “Jalan lain yang bisa ditempuh adalah stimulus kenaikan upah.”

Upah minimum harus naik diatas inflansi dan pertumbuhan ekonomi, untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana kita tahu, bagi buruh, upah akan digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Sedangkan konsumsi rumah tangga menempati posisi tertinggi terhadap perekonomian, yaitu 55,2% terhadap porsi PDB. Efeknya lebih jauh, permintaan barang secara umum akan naik, dan industri diharapkan kembali pulih dan tumbuh diatas 5%.

Ketika kemudian dipaksakan upah naik sesuai formula PP 78/2015, bisa dipastikan upah buruh akan tergurus inflansi. Akibatnya kenaikan upah tidak bisa memberikan sumbangsih bagi menguatnya daya beli, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi tetap saja lesu. (*)

Pos terkait