FSPMI Kecam Pemblokiran Situs Web

Jakarta, KPonline – Tindakan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) memblokir 11 situs dengan tuduhan menyebarkan pesan berbau SARA disayangkan banyak pihak. Salah satunya adalah Wakil Presiden FSPMI, Kahar S. Cahyono.

Adapun 11 situs yang diblokir tersebut adalah lemahirengmedia.com, portalpiyungan.com, suara-islam.com, smstauhiid.com, beritaislam24h.com, bersatupos.com, pos-metro.com, jurnalmuslim.com, media-nkri.net, lontaranews.com dan nusanews.com.

Pria yang bertanggungjawab di bidang Informasi, Komunikasi, dan Media di Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia ini menegaskan, pemblokiran situs semestinya tidak dilakukan. Terlebih lagi, pemblokiran itu dilakukan berdekatan dengan momentum aksi 4 November.

“Jadi, kesan politisnya lebih besar,” katanya. Lebih lanjut dia mengatakan,  “Apa yang dilakukan Kemenkominfo justru mencederai kebebasan berekspresi.”

Kebebasan menyatakan pendapat terus dibatasi. Aksi-aksi demonstrasi banyak yang direpresif, beberapa diskusi dilarang, buku tertentu dibredel. Tentu saja, hal ini semakin memundurkan demokrasi.

Kahar mengaku tidak setuju dengan situs-situs yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Tetapi, serta merta melakukan pemblokiran, juga bukan langkah yang tepat.

“Jangan sampai pemblokiran dilakukan untuk kepentingan penguasa,” tegas Kahar.

Tentu pemblokiran oleh pemerintah itu, bertentangan dengan demokrasi, bertolak belakang dengan kebebasan pers dan kebebasan setiap warga negara untuk berekspresi. Tapi pemblokiran itu sebetulnya tidak mengejutkan karena bukan kali ini saja rezim melakukan pembungkaman.

Seperti dikatakan Rusdi Mathari, sekitar dua bulan setelah rezim ini terbentuk, pemblokiran pernah menimpa papuapost.com yang dituding sebagai situs berbahaya.Berita-beritanya dinilai provokatif agar Papua melepaskan dari Indonesia alias merdeka. Alasan lain pemerintah: permintaan Pangdam Cendrawasih.

Internet adalah ruang terbuka, tak mengenal batas-batas geografis dan sebagainya. Pembatasan penggunaannya karena itu harus mengacu pada pelaksanaan aturan Konvenan Sipil dan Politik. Pemerintah di negara mana pun, karena itu semestinya menguji terlebih dulu sebelum melakukan pemblokiran. Dan satu-satunya cara untuk mengujinya adalah melalui pengadilan agar negara tidak seenaknya memaksakan kehendak.

Pemerintah yang sepihak memblokir situs-situs tanpa uji pengadilan, apalagi hanya karena dipicu oleh sebuah peristiwa, seperti aksi demo 4 November hari ini, bisa disebut sebagai pemerintahan otoriter. Tidak salah lagi. Dan tentu saja itu memalukan bagi demokrasi, karena suatu hari, mereka bisa memblokir situs apa saja dengan alasan apa saja.

Dalam hal ini, Kahar sependapat dengan Ketua AJI Indonesia, Suwarjono. Bahwa harus ada mekanisme pengadilan untuk sesegera mungkin menguji, apakah penilaian pemerintah terkait sebuah situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan itu obyektif.  Mekanisme uji oleh pengadilan penting, agar kewenangan negara untuk memastikan pelaksanaan kebebasan berekspresi mengikuti aturan Konvenan Sipil dan Politik tidak disalahgunakan untuk kepentingan penguasa.

Sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, mengatakan fungsi pemerintah tidak hanya sebagai regulator tetapi juga memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan. Dalam hal itu Sukamta memandang fungsi pembinaan belum dilakukan dengan baik.

“Laporan sebagian masyarakat atas sebuah situs jangan langsung direspon sepihak. Jika setelah dilakukan pemeriksaan kembali situs yang dilaporkan memang mengandung materi yang mengarah kepada SARA, berikan peringatan terlebih dahulu, lakukan pendekatan pembinaan,” katanya. (*)