Namaku Rahmat, seorang buruh perkebunan kelapa sawit di pedalaman Sumatera. Sejak fajar menyingsing, aku telah bersiap, menggenggam sabit dengan tangan yang penuh luka. Ladang sawit terbentang luas di hadapanku, menjadi saksi perjalanan hidup yang penuh perjuangan.
Keringat yang menetes bukan hanya karena sengatan matahari, tetapi juga karena himpitan beban hidup yang semakin berat. Aku bekerja tak kenal lelah demi istri dan kedua anakku yang masih kecil. Mereka adalah cahaya harapan yang membuatku terus bertahan. Aku ingin mereka memiliki kehidupan yang lebih baik, berbeda dari nasibku yang hanya lulusan sekolah dasar dan harus menghabiskan hari-hari di antara pelepah sawit yang berduri.
Setiap hari, aku memanen tandan buah sawit yang beratnya puluhan kilogram. Aku harus memanjat, mengayunkan sabit dengan tenaga penuh, sambil waspada terhadap sengatan serangga dan bahaya ular. Upah yang kudapat sering kali tak sebanding dengan usaha dan risiko yang kuhadapi. Cukupkah? Untuk sekadar makan, mungkin cukup. Tapi untuk mimpi yang lebih besar, untuk pendidikan anak-anakku? Itu masih menjadi tanda tanya besar.
Aku punya mimpi yang belum tercapai. Aku ingin bisa memiliki rumah sendiri, tidak lagi tinggal di pondok reyot yang sewaktu-waktu bisa roboh diterpa hujan deras. Aku ingin anak-anakku bersekolah tinggi, meraih cita-cita mereka tanpa harus dihantui kekhawatiran biaya. Aku ingin memiliki penghasilan yang cukup untuk menabung, agar ketika tubuh ini tak lagi kuat bekerja, aku masih bisa bertahan tanpa bergantung pada orang lain.
Kami, para buruh perkebunan, sering mendengar tentang kesejahteraan pekerja di kota. Mereka menerima upah lebih layak, waktu kerja lebih manusiawi. Sementara kami? Bekerja lebih dari delapan jam sehari, dengan upah yang bahkan tak cukup untuk menabung. Ke mana harus mengadu? Siapa yang peduli? Kami hanya bisa berdoa dan berharap suatu hari nasib kami berubah.
Aku pernah berpikir untuk bergabung dengan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), agar bisa memperjuangkan hak-hak kami sebagai buruh. Namun, aku takut. Aku tahu beberapa pekerja yang mencoba berserikat dipecat dengan alasan yang dibuat-buat. Ada tekanan dan intimidasi dari perusahaan, seolah-olah bergabung dengan serikat adalah sebuah kesalahan. Aku takut kehilangan pekerjaan ini, satu-satunya sumber penghidupan keluargaku. Tapi sampai kapan aku harus takut? Sampai kapan aku harus diam?
Saat malam tiba, dalam kelelahan yang tak tertahankan, aku menatap wajah anak-anakku yang tertidur lelap. Aku menggenggam tangan istriku yang juga letih setelah seharian membantu di ladang. Dalam hati, aku berbisik, “Bertahanlah, Rahmat. Demi mereka, kau harus kuat.”
Menjadi buruh perkebunan adalah perjalanan panjang yang penuh cobaan. Tapi aku percaya, kerja keras dan doa yang tak pernah putus akan membuka jalan bagi kehidupan yang lebih baik. Aku hanya ingin keadilan, agar anak-anak kami tak lagi mengulang cerita yang sama, agar suatu hari kelak, mereka bisa berdiri tegak tanpa harus menghabiskan hidup di bawah terik matahari seperti kami.
penulis, Heri