Belajar Pengalaman Perancis, Presiden Terpilih dari Partai Kecil, KSPI Tolak Presidential Threshold.

Jakarta, KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak presidential threshold. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, presidential threshold mematikan demokrasi. Akibatnya rakyat tidak memiliki banyak alternatif untuk memilih pemimpin. Padahal, dalam hal ini, Indonesia bisa memetik pengalaman dalam pemilihan Presiden Perancis.

Adalah Emmanuel Macron, Presiden Perancis yang baru saja terpilih, meskipun tanpa dukungan partai politik yang mapan. Tetapi nampaknya, elit politik di Indonesia cenderung menutup peluang itu. Bayangkan jika setiap partai politik, atau bahkan calon independen, bisa maju sebagai presiden. Tentu setiap orang akan memiliki kesempatan.

Bacaan Lainnya

Pada awalnya, Macron diremehkan banyak orang. Bahkan Mantan Perdana Menteri Manuel Valls bahkan sempat memandang remeh dan menyebutnya sebagai “populisme kelas ringan.” Francois Fillon, kandidat dari Partai Republik, sempat mengatakan dirinya yakin warga Perancis “tidak akan mempercayakan nasib mereka pada orang yang tidak punya pengalaman, yang tidak pernah menunjukkan apa-apa.”

Tetapi terbukti, rakyat Perancis mencintai pria berusia 39 tahun ini. Macron mempermalukan semua orang yang pernah meragukan kemampuannya untuk maju sebagai calon presiden.

Terbukti, Emmanuel Macron memenangkan pemilihan presiden Prancis, hari Minggu (07/05), setelah di putaran kedua pemungutan suara menyingkirkan Marine Le Pen. Proyeksi penghitungan suara memperlihatkan Macron, politisi tengah pro-Eropa, meraih sekitar 65% suara, sementara calon dari kanan jauh, Le Pen, meraih kurang lebih 35% suara.

Dulu, Macron hanyalah seorang pegawai sipil yang menjadi bankir investasi dengan dompet berisi jutaan euro, sebelum akhirnya menjadi seorang menteri. Sebagai kandidat yang belum pernah memegang jabatan lewat pemilu, Macron bisa menawarkan dirinya sebagai “anti-sistem” untuk warga yang muak dengan perpolitikan Perancis.

Satu hal yang menarik, dalam pilpres kali ini adalah untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, presiden terpilih bukan berasal dari dua partai utama, Sosialis dan Republik yang berhaluan kanan tengah.

Apabila menggunakan presidential threshold seperti Indonesia, tidak mungkin orang seperti Emmanuel Macron akan terpilih. Itulah kenapa KSPI meminta presidential threshold dihapuskan. Agar rakyat semakin banyak memiliki alternatif untuk memilih pemimpinnya.

Pada April 2016 ia mendirikan En Marche!, gerakan berhaluan tengah yang ia gunakan sebagai kendaraan politik di pemilihan presiden.

Di Eropa, ini bukan gejala baru. Ada gerakan serupa yang telah dibentuk sebelumnya di Italia dan Spanyol. Dan beberapa bulan setelah mendirikan En Marche!, Macron menyatakan mundur dari Partai Sosialis.

Macron bisa saja maju di pilpres dengan tiket dari Partai Sosialis, namun ia sadar betul bahwa dengan popularitas partai yang menurun, ia perlu kendaraan lain yang segar, yang bisa dirasakan secara langsung oleh rakyat.

Macron sendiri sebenarnya bukan wajah yang sama sekali baru di panggung politik Prancis. Ia pernah menjadi menteri ekonomi Presiden Francois Hollande, politisi Partai Sosialis. Fakta ini, menurut pengamat politik Francois Raillon, bermakna bahwa Macron juga adalah bagian dari kelompok mapan (establishment).

Sumber gambar: BBC Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *