Melampaui Pemilu

Kesadaran politik di dalam FSPMI-KSPI mulai tumbuh membesar dalam periode 2010 – 2013. Kesadaran itu ditandai dengan perjuangan kaum buruh terhadap reformasi sistem jaminan sosial, yang kemudian berhasil mendesak lahirnya UU BPJS.

Dalam periode itu, kaum buruh melakukan berpuluh kali aksi. Dalam beberapa kesempatan, bahkan melibatkan ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia. Gerakan ini dilakukan dalam aliansi yang bernana Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).

Bacaan Lainnya

Di dalam KAJS tergabung 66 elemen gerakan sipil. Menjadikannya sebagai gerakan yang pilih tanding.

Perjuangan jaminan sosial, yang didalamnya mengangkat isu jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat, saya rasa merupakan gerakan yang spektakuler. Gerakan buruh keluar dari isu tradisionalnya di tingkat pabrik, seperti upah, PHK, dan status kerja. Gerakan ini, kelak dikenal sebagai gerakan dari pabrik ke publik. Buruh tidak lagi berbicara kondisi di tempat kerja, tetapi berkhidmat untuk seluruh rakyat Indonesia.

Pasca KAJS, terbentuk Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI). MPBI digadang-gadang menjadi payung bagi gerakan buruh di Indonesia. Sejak terbentuk MPBI, tuntutan buruh makin politis. Diantaranya mendesak berbagai revisi terhadap regulasi seperti outsourcing dan pengupahan (item KHL). Tahun 2013, kaum buruh kembali melancarkan serangan melalui pemogokan nasional. Grebek pabrik dan aksi tutup tol juga terjadi. Kenaikan upah di masa ini mencapai 60%, bahkan ada daerah yang tembus 80%.

Gerakan “pabrik ke publik” membawa pergeseran dalam strategi perjuangan di dalam internal FSPMI-KSPI. Gerakan yang tadinya menggunakan strategi Konsep-Lobi-Aksi (KLA), kini ditambah dengan strategi politik. Alasannya, karena tuntutan terkait dengan kesejahteraan tidak bisa selesai hanya dengan perundingan di tingkat pabrik. Dibutuhkan regulasi, memastikan negara tidak alpha dalam masalah yang dihadapi kaum buruh — dan itu menjadi tanda bangkitnya kesadaran politis di dalam serikat.

Itulah sebabnya, pada Pemilu 2014, secara resmi FSPMI-KSPI memberikan dukungan terhadap kader-kadernya untuk maju dalam pemilihan legislatif.

Slogan yang digunakan adalah buruh pilih buruh. Pada titik tertentu, hal ini sekaligus memposisikan diri berhadapan dengan partai politik. Seolah hendak mengatakan: “Kami tidak memilih partai, tapi memilih pemimpin kami untuk duduk mewakili kami, sebagai wakil rakyat.” Dalam redaksi lain, ini sebenarnya bisa dibaca, karena kami “tidak percaya” dengan caleg politisi. Karena itulah kami memilih caleg kami sendiri. Inilah yang menjelaskan, mengapa FSPMI-KSPI tidak menempatkan kader-kadernya dalam satu partai tertentu.

Dalam konteks itu, kita harus memaknai gerakan buruh go politik melampaui pemilu. Karena sejatinya, kita hanya setia pada cita-cita perjuangan. Berangkat dari kesadaran, pentingnya suara buruh terdengar di ruang-ruang pengambilan kebijakan.

Tentu kita percaya, anggota legislatif yang lahir dari rahim buruh akan setia dengan risalah perjuangan. Cita-cita kita bersama…

Jakarta, 29 April 2019

Kahar S. Cahyono (Vice Presiden FSPMI – Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI)

Pos terkait