Antara Revisi UU Ketenagakerjaan, PP No 78 Tahun 2015, dan Gelombang PHK

Jakarta, KPonline – Serikat buruh menolak rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang merugikan hak-hak buruh. Sebagaimana diketahui, pemerintah menginginkan ada perbaikan iklim investasi, dimana Undang-Undang Ketenagakerjaan dianggap terlalu kaku serta tidak ramah investasi dan oleh karenanya perlu direvisi. Sementara itu, untuk menyuarakan penolakannya, di beberapa daerah buruh menggelar aksi unjuk rasa.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal mengatakan, alih-alih melakukan perbaikan investasi, arah revisi adalah untuk menekan kesejahteraan buruh. Apalagi jika arahnya adalah untuk menurunkan nilai upah minimum, mengurangi pesangon, hingga membebaskan penggunaan outsourcing di semua lini produksi.

Oleh karena itu, kata Iqbal, alasan para pelaku usaha dan pemerintah mendorong revisi UU Ketenagakerjaan dengan alasan untuk mendongkrak investasi adalah hal yang mengada-ngada.

“Undang-undang ini bunyinya tentang ketenagakerjaan, bukan tentang investasi. Kalau mau revisi ya yang diubah Undang-undang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Perindustrian, Undang-undang Perdagangan, atau Undang-undang Perekonomian Nasional,” pungkasnya.

Untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, kaum buruh akan melakukan aksi bergelombang di kota-kota industri di seluruh Indonesia. FSPMI sendiri, kata Iqbal, sudah mengeluarkan surat instruksi agar buruh di setiap kabupaten/kota melakukan unjuk rasa ke Pemerintah Daerah dengan target meminta dukungan untuk menolak revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Tagih Janji Revisi PP 78/2015

Berbeda dengan sikapnya yang menolak rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, buruh justru mendesak agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) segera direvisi.

“Jangan sampai ada kesan, ketika buruh yang meminta revisi tidak kunjung direalisasi. Tetapi giliran pengusaha yang meminta cepat sekali dituruti,” ujar Iqbal.

Menurutnya, PP 78/2015 lebih mendesak untuk direvisi. Sebab keberadaan beleid ini membatasi kenaikan upah buruh hanya sebatas pada inflansi dan pertumbuhan ekonomo. Padahal apabila pemerintah ingin fokus mendongkrak investasi, maka pemerintah juga perlu menjaga pertumbuhan PDB di atas rata-rata regional dengan mendorong konsumsi rumah tangga. Caranya adalah dengan menaikkan daya beli masyarakat (purchasing power). Dengan adanya daya beli, maka barang-barang produksi akan ada yang membeli, sehingga roda ekonomi berputar.

Salah satu instrumen paling mendasar untuk menaikkan daya beli adalah upah minimum yang berfungsi sebagai jaring pengaman (safety net).

“Supaya upah menjadi layak, maka PP 78/2015 yang membatasi kenaikan upah minimum harus dicabut. Kembalikan kenaikan upah minimum berdasarkan perundingan tripartit dan berbasis pada kebutuhan hidup layak dengan melakukan survey pasar; dengan terlebih dahulu meningkatkan kualitas dan kuantitas KHL,” kata Iqbal.

Iqbal mencontohkan, pertumbuhan PDB di atas 6% yang terjadi di medio tahun 2010-2012 disumbang oleh konsumsi rumah tangga di atas 56%. Sementara saat ini pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5% karena porsi konsumsi rumah tangga juga menurun. Karena itu, agar pertumbuhan ekonomi meningkat maka daya beli masyarakat (purchasing power) harus dinaikkan.

Gelombang PHK Kembali Membayangi Buruh Indonesia

Di sisi lain, hingga pertengahan tahun 2019, kurang lebih 10.000 buruh terkena PHK. Jumlah tersebut berasal dari berbagai industri, seperti industri baja, semen, elektronika, dan otomotif.

Menurut Iqbal, industri baja terpukul karena masuknya baja murah dari China. Di PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, misalnya, ancaman PHK sudah mulai terjadi setahun yang lalu. Berdasarkan informasi dari para perkerja subkon (sub kontraktor) di Krakatau Steel, sudah banyak dari mereka yang dirumahkan dan shift dikurangi.

Begitu juga dengan industri semen. Industri semen terpukul karena masuknya perusahaan asing terutama dari China yang bisa menjual dengan harga lebih murah.

Selanjutnya, ancaman PHK datang dari industri elektronik terutama dari Batam. Terbaru, Foster Electronic dan Unisem tutup menyebabkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan.

Lalu, ancaman PHK datang dari industri otomotif. Terlebih, setelah Nissan mengumumkan akan melakukan pengurangan tenaga kerja. Dalam hal ini, Nissan Motor Indonesia (NMI) membenarkan bahwa keputusan Nissan Motor Co, induk usahanya, melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga akan dialami karyawan perusahaan di Indonesia.

Dalam hitungan KSPI, potensi PHK dari industri baja sekitar 3.000-5.000 tenaga kerja, semen 1.000-2.000 tenaga kerja, otomotif terutama dari Nissan 500-1.000 tenaga kerja, dan elektronik dari Batam sekitar 2.000 tenaga kerja. Hitungan kasar semuanya sekitar 10.000 terancam PHK.

Karena itu, kata Iqbal, pihaknya mendesak agar pemerintah melakukan langkah-langkah konkret untuk mencegah terjadinya PHK.

Dia juga meminta agar kartu prakerja segera direalisasikan. KSPI berharap kartu prakerja juga dapat dipergunakan untuk para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Saya minta agar bisa dipakai untuk orang-orang yang terkena PHK agar mereka bisa bekerja kembali, apalagi banyak PHK di tahun ini. Saya minta bisa tahun depan mulai diterapkan,” pungkasnya.