7 Fakta Aksi BEM Seluruh Indonesia di Hari Kasih Sayang

Jakarta, KPonline – Aksi aliansi BEM SI wilayah Jabodetabek-Banten di hari kasih sayang ini diwarnai perbuatan kekejaman dan inkonstitusional. Mahasiswa dituding melanggar hukum, padahal fakta menunjukan pemerintah lah yang melanggar hukum.

Menurut Bagus Tito Wibisono, berikut 7 fakta aksi 14 Februari:

Bacaan Lainnya

1. Aksi mahasiswa di masa tenang adalah legal.

Tidak ada dasar hukum apapun yang menjadi legal standing, bahwa aksi di masa tenang pilkada adalah ilegal dan inkonstitusional. Padahal mahasiswa justru ingin menegakan legalitas hukum.

2. Tidak ada perizinan dalam aksi apapun, melainkan pemberitahuan.

Salah besar jika polisi mengklaim aksi mahasiswa tidak mendapatkan izin. Karena memang setiap aksi tidak menggunakan izin, melainkan surat pemberitahuan. Dan sangat logis jika pemberitahuan mahasiswa terlambat, karena sampai tanggal 13 Februari terdakwa belum juga diberhentikan sebagai gubernur sehingga hari itu juga mahasiswa mengirimkan surat pemberitahuan ke Polda, dan ternyata tidak ada karyawan yang menerima surat tersebut.

3. Polisi meminta aksi dilakukan setelah pilkada.

Hal ini sangat aneh dikarenakan jatuh tempo terdakwa adalah tanggal 12 Februari lalu, dan ini sesuai konstitusi. Jika aksi dilaksanakan setelah tanggal 15, maka artinya mahasiswa membiarkan adanya pelanggaran hukum di bumi pertiwi ini. Dan semakin jelas ada upaya perlindungan terhadap terdakwa, yang statusnya berbeda dihadapan hukum, padahal semua orang sama dimata hukum.

4. Sanksi dalam penyampaian pendapat di muka umum adalah pembubaran bukan penangkapan.

Jika menurut polisi mahasiswa melanggar hukum, maka sanksi konstitusionalnya adalah pembubaran, sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, pasal 15. Tetapi yang terjadi adalah penangkapan 4 mahasiswa, dengan menggunakan kekerasan. Mereka dipukul dan dikeroyok di dalam mobil angkutan. Padahal mahasiswa tidak merusak fasilitas, tidak menganiaya aparat, tidak melakukan kekerasan  kepada aparat. Apakah pelayanan polisi adalah dengan kekerasan ?

5. Mahasiswa tidak diperkenankan didampingi kuasa hukum

Hal memalukan kembali terjadi ketika aparat menginterogasi 4 mahasiswa. Mereka tidak ahli dalam hukum, namun ketika ahli hukum datang untuk membantu, justru mereka tidak diperbolehkan masuk. Malah mereka di dorong, di usir, dan di keluarkan dari kantor. Hal ini melanggar  pasal 57 dan 69 KUHAP, dan berhak untuk diperkarakan. Sangat logis jika dalam proses interogasi berpotensi terjadi intimidasi kepada mahasiswa, karena mereka tidak didampingi kuasa hukum, padahal itu adalah hak mereka.

6. Keluarga dilarang untuk bertemu.

Kedudukan keluarga lebih tinggi dari kuasa hukum dan lebih berhak bertemu dengan orang yang di interogasi. Namun, hal ini tidak berlaku malam tadi. Kakak dari salah seorang mahasiswa yang ditangkap, dilarang untuk menemui adiknya karena alasan ‘perintah atasan’. Lagi-lagi polisi melanggar konstitusi. Arogansi mewarnai setiap penjelasan mereka di kantornya sendiri, sehingga mahasiswa menjalankan aksi SMS seretak Kompol Nyamun untuk membebaskan mahasiswa.

7. Aksi mahasiswa di fitnah ditunggangi.

Entah bagaimana lagi menjelaskan bahwa tujuan aksi mahasiswa hari ini adalah memastikan konstitusi tegak di negeri ini. Bukan hanya mahasiswa, DPRD DKI Jakarta saja sudah memboikot terdakwa, DPR RI akan mengajukan hak angket, salah satu mantan menteri sudah berstatement konstitusi di media, tandanya ini murni gerakan penegakan hukum. Jika ingin diperkarakan, bisa saja kami melaporkan  pencemaran nama baik BEM SI sebagai aliansi independen yang mengontrol kebijakan sosial politik.

Jadi beginilah kondisi negeri ini. Orang yang ingin mengingatkan diperlakukan serampangan, tetapi terdakwa hukum dibiarkan berkeliaran. Bahkan dengan kasus ini, Presiden bisa untuk di makzulkan, karena telah melangar konstitusi. Dan untuk pertama kalinya, Jakarta dipimpin oleh seorang terdakwa.

Pos terkait