Purwakarta, KPonline – Upah padat karya adalah upah minimum yang besarnya di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Diberlakukan upah padat karya, salah satu alasannya, karena di daerah tersebut nilai UMK-nya telah mencapai 100 persen Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Bila melihat ketentuan Pasal 88 ayat 1, kemudian di perjelas pada Pasal 89 ayat 2 UU 13/2003, terlihat: “Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan kepada pencapaian KHL.” Inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk upah padat karya.
Dalihnya, UMK yang sudah di atas KHL, pemerintah bisa menetapkan upah padat karya. Secara tidak langsung upah padat karya sedikit diperkuat dengan UU 13/2003, dengan pasal 88 ayat 1 dan 89 ayat 2. Meskipun tidak ada kejelasan, intinya nilai besarannya masih diatas nilai pencapaian KHL.
Purwakarta di tahun 2016 pun menerapkan upah padat karya. Padahal, tahun 2015, tidak ada upah padat karya. Dengan adanya upah padat karya, buruh yang bekerja di sektor yang masuk padat karya hanya mendapatkan upah sebesar Rp 2.352.650. Mereka yang menerima upah padat karya adalah buruh yang bekerja di perusahaan garmen, tekstil, dan alas kaki.
Padahal, upah minimum di Purwakarta sebesar Rp 2.927.990. Itu artinya, pakerja di padat karya, mendapatkan upah lebih rendah dari UMK.
Sedangkan dalam regulasi yang kita pahami, upah minimum adalah terendah yang harus di bayar sebuah daerah. Tidak boleh ada perusahaan yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Mengapa harus ada upah padat karya yang nilainaya di bawah upah minimum?
Jika diasumsikan pada karya adalah sektor tersendiri, maka besarnya nilai upah sektoral tidak boleh lebih rendah dari nilai UMK. Entah sebuah konspirasi , entar karena politik upah murah yang sedang diterapkan, sehingga hal ini bisa terjadi.
Mari kita ambil contoh. Katakalah sebuah perusahaan alasa kaki di Purwakarta. Tahun 2015, ketika belum diberlakukan upah pada karya, perusahaan tersebut mendapatkan upah sesuai UMK yang besarnya adalah Rp 2.626.000. Tetapi di tahun 2016, mereka hanya mendapatkan upah sebesar Rp 2.352.650. Ini tentu saja mengejutkan. Dimana seharusnya upah itu mengalami kenaikan di setiap tahunnya tetapi yang terjadi ternyata penurunan upah.
Pernyataan Menaker perlu kita pertanyakankan kembali. Dia sempat berkata dalam mensosialisasikan PP 78/2015, yang dibuat untuk menjamin kenaikan upah buruh di setiap tahunnya. Nyatanya para pekerja padat karya justru mengalami penurunan upah.
Pemerintah daerah melalui Disnaker pun tidak bisa memberikan jawaban dan kepastian.
Menurut keterangan salah satu anggota Dewan Pengupahan Purwakarta, upah padat karya ini terjadi karena nilai kebutuhan hidup layak telah terlampaui, yaitu sebesar Rp 2.119.144. Jadi ketika upah pada karya sebesar Rp 2.352.650 itu, menurutnya sudah di atas KHL. Sementara UU 13/2002 sendiri menegaskan, upah minimum hanya diarahkan untuk mencapai KHL.
Itulah sebabnya, kaum buruh terus menuntut agar 60 item KHL ditingkatkan menjadi 84 item, dan kemudian terus dievaluasi sesuai dengan perkembangan zaman. Jika tidak, upah layak hanyalah menjadi ilusi. (*)