PPN Naik 12 Persen, Daya Beli Rakyat Akan Semakin Menurun

PPN Naik 12 Persen, Daya Beli Rakyat Akan Semakin Menurun

Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 menimbulkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan masyarakat. Langkah ini dipandang sebagai tindakan yang justru akan memberatkan rakyat, bukan mensejahterakan mereka sebagaimana seharusnya tugas pemerintah.

Banyak yang mempertanyakan tujuan pemerintah yang seharusnya mendapatkan mandat dari rakyat, namun justru menyakiti mereka dengan kebijakan kenaikan PPN ini. Kenaikan ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintahan yang baru setelah masa jabatan Joko Widodo berakhir.

Bacaan Lainnya

Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai klaim perbaikan ekonomi yang selama ini didengungkan oleh pemerintah. Jika ekonomi benar-benar membaik, mengapa perlu menaikkan PPN hingga 12 persen? Banyak yang menilai rencana ini justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, yang berimbas pada kebutuhan untuk menutup kekurangan pendapatan negara melalui kenaikan pajak.

Kenaikan PPN ini diperkirakan akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat yang menurun. Meskipun tarif PPN di Indonesia saat ini berada di bawah rata-rata negara-negara OECD yang sebesar 15 persen, skema single tarif yang diterapkan dianggap kurang adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli masyarakat atau kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda.

Penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen ini akan berada di tangan pemerintahan selanjutnya, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Kebijakan ini, yang diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 ayat 1, menyatakan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025

PPN adalah biaya tambahan yang harus dibayarkan oleh konsumen saat mereka membeli sesuatu. Namun, tidak semua barang yang dibeli dikenakan PPN, melainkan barang yang statusnya sebagai Barang Kena Pajak (BKP). Dalam hal ini, perusahaan yang menjual barang dan jasa tertentu bertindak sebagai perantara dan mengenakan PPN sebesar 12 persen kepada konsumen akhir sebelum disetorkan ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Kenaikan tarif PPN dapat memicu kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Ini dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi karena biaya produksi yang lebih tinggi akan diteruskan kepada konsumen. Konsumen kemungkinan akan merasakan tekanan pada daya beli mereka karena harga barang yang lebih tinggi.

Dampak kenaikan tarif PPN pada kesejahteraan masyarakat perlu dievaluasi dengan cermat. Di satu sisi, pendapatan tambahan bagi pemerintah dapat digunakan untuk meningkatkan layanan publik dan infrastruktur yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain kenaikan harga barang dan jasa dapat menyebabkan kesulitan bagi rumah tangga dengan pendapatan rendah, yang mungkin harus mengurangi konsumsi barang dan jasa penting.