Potret Desa Lumbung TKI di Tulungagung

Tulungagung, KPonline – Sore mulai menjelang saat tiga remaja belia memacu motor di dekat titian besi Desa Tanggul Kundung, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Dua sepeda motor yang salah satunya berboncengan kompak menginjak rem saat roda depan kendaraan mereka nyaris bertabrakan. Alih-alih terkejut lolos dari maut, ketiga penunggang motor justru tergelak.

Mereka bukan para pembalap profesional yang sedang beradu nyali. Melainkan tiga anak kecil yang terdiri atas dua siswa Sekolah Dasar dan satu siswa Sekolah Menengah Pertama. Tubuh mungil di belakang setang kemudi tampak tak sebanding dengan ukuran sepeda motor yang didesain untuk orang dewasa.

Bacaan Lainnya

“Jangan kaget kalau lihat anak SD naik motor balapan,” kata Mashuri (56), penjual es tebu yang mangkal di kawasan jembatan desa itu, Sabtu (11/3/2017).

Baca juga: Peran KH Hasyim Muzadi Terhadap Buruh Migran

Dia menuturkan, anak-anak di Desa Tanggul Kundung yang naik sepeda motor mayoritas adalah anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ditinggal orang tuanya merantau ke luar negeri. Sehari-hari anak-anak ini tinggal bersama kakek neneknya. Sepeda motor, menurut Mashuri, adalah salah satu jejak TKI yang ditinggalkan di rumah. Ketersediaan sepeda motor di rumah inilah yang membuat anak-anak TKI terpacu untuk belajar mengendarai.

Lemahnya pengawasan kakek nenek yang cenderung sibuk di ladang ataupun sakit-sakitan membuat anak-anak ini leluasa memacu motor di luar rumah.

“Mbahnya mana tahu tingkah cucunya di luar rumah,” tambah Mashuri.

Sepanjang Sabtu sore di tempat itu, tak ada yang dilakukan anak-anak tersebut selain nongkrong di pinggir jalan. Mereka hanya duduk di atas motor yang distandar sambil sesekali bercanda dan berakting menirukan adegan film di televisi. Makin petang jumlah mereka terus bertambah. Usia mereka antara 10-15 tahun, usia yang jauh dari kelayakan memegang Surat Izin Mengemudi (SIM).

Baca juga: Ini Daftar Masalah Yang Dialami Buruh Migran

Hilir mudik anak-anak bermotor ini masih tampak hingga di depan rumah Suyoto, Kepala Desa Tanggul Kundung yang berjarak kurang dari satu kilometer dari tempat mereka nongkrong. Meski berprofesi sebagai anggota Polri sebelum menjabat kepala desa, Suyoto mengaku tak bisa mengatur perilaku berkendara anak-anak itu.

“Mungkin itu bentuk kasih sayang orang tua karena meninggalkan rumah,” kata Suyoto menjelaskan alasan kepemilikan motor tersebut.

Tidak adanya lapangan kerja yang memadai serta kisah sukses TKI di luar negeri menjadi alasan utama kepergian warganya menjadi TKI. Hal ini terbukti ketika rata-rata kehidupan ekonomi mereka berangsur membaik usai pulang dari perantauan. Mereka lebih bangga menjadi TKI meski bekerja sebagai asisten rumah tangga dibandingkan melamar kerja sebagai buruh pabrik di Tulungagung.

Baca juga: 5 Catatan Human Rights Working Group Terkait Kasus Buruh Migran di Arab Saudi

Kondisi yang sangat mencolok terlihat di Desa Tanggul Turus. Desa yang berbatasan langsung dengan Desa Tanggul Kundung ini dikenal sebagai lumbung TKI. Desa ini juga kerap dikunjungi Kementerian Tenaga Kerja. Akses jalan desa yang berjarak 35 kilometer dari Kabupaten Tulungagung ini lebih lebar. Bangunan rumah-rumah yang ada juga tampak lebih megah.

Persis seperti yang dijelaskan Mashuri di ujung jembatan yang menyebut ciri lain dari TKI adalah berumah mentereng.

Bangunan rumah mentereng siap huni ataupun masih dalam tahap pengerjaan bercokol di antara rumah sederhana secara sporadis. Tak sedikit dari rumah itu yang memiliki dua lantai dengan garasi mobil yang tak bisa dibilang ecek-ecek seperti Honda Jazz, Innova, dan Avanza.

“Rumah yang sedang dalam tahap pembangunan menandakan penghuninya belum lama ke luar negeri,” kata Agus Marsono, Sekretaris Desa Tanggul Turus merangkap pelaksana tugas Kepala Desa yang baru saja mangkat.

Baca juga: Kedatangan Tim Pengawas TKI DPR RI ke Hong Kong Disambut Buruh Migran dengan Aksi dan Petisi

Dari 3.300 jiwa atau 1.300 kepala keluarga di Desa Tanggul Turus, sebanyak 400 jiwa bekerja di luar negeri seperti Arab Saudi, Hongkong, Taiwan, Malaysia, hingga Yunani. Sebagian besar dari mereka adalah kaum Hawa yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dengan sebagian kecil bekerja di pabrik.

Agus mengakui jika profesi sebagai pahlawan devisa ini secara langsung mengangkat derajat perekonomian warganya. Jika 20 tahun lalu rumah reyot masih mendominasi pemukiman penduduk dengan mata pencaharian utama menjadi buruh tani atau berladang di hutan, kini tidak lagi.

Diawali kepergian kaum laki-laki ke Pulau Batam dan beberapa pulau di luar Jawa untuk merantau, lambat laun mulai melebar hingga ke negeri seberang. Malaysia adalah salah satu negara rintisan tempat tenaga kerja Indonesia asal Tanjung Turus berkelana. Disusul kemudian dengan negara-negara lain dengan jumlah tenaga kerja lebih banyak dan melibatkan kaum perempuan.

Baca juga: Pemerintah Diminta Berkaca Dengan Berbagai Permasalahan Buruh Migran

Kisah sukses para TKI yang bergelimang harta ini pudar saat bertemu dengan pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru, Waryono dan Mamik. Waryono adalah Kepala SD Negeri Tanggul Turus II, sedangkan istrinya Mamik adalah guru SD Negeri Tanggul Turus III.

“Anak-anak TKI cenderung dan tak punya aturan,” kata Waryono membuka obrolan di rumahnya.

Kepala sekolah yang empat bulan ke depan mengakhiri masa tugasnya sebagai PNS ini telah banyak mengetahui kehidupan anak-anak di Desa Tanggul Turus yang menjadi siswa didiknya, termasuk anak yang ditinggal orang tuanya merantau ke luar negeri.

Tinggal dengan kakek nenek atau keluarga yang berlatar belakang pendidikan rendah di tengah derasnya kiriman uang dari luar negeri menjadi faktor utama kenakalan anak-anak TKI. Selain memicu kemalasan belajar hingga membuat kemampuan akademik merosot, perilaku mereka cenderung urakan dan tak kenal tata krama.

Baca juga: Buruh Migran: “Jangan Perlakukan Kami Sebagai Barang Dagangan”

“Karena memang tidak ada yang mengawasi dan mengajari di rumah,” kata Waryono.

Sebagai guru sekaligus orang tua, Waryono mengaku sangat prihatin kepada mereka. Kenakalan yang terbentuk adalah buah dari situasi yang mereka terima di rumah, ketika tumbuh dan berkembang tanpa pendampingan orang tua. Satu-satunya pemenuhan kebutuhan yang diterima adalah materi yang dikirimkan orang tuanya dari luar negeri sebagai kompensasi meninggalkan rumah.

Selain tunggangan sepeda motor yang menjadi kendaraan wajib anak-anak TKI, peralatan gadget yang canggih serta ketebalan saku mereka menjadi pembeda antara anak TKI dengan murid lainnya. Jika rata-rata nilai uang saku siswa SD sebesar Rp2.000, anak-anak TKI ini bisa membawa Rp6.000-10.000 setiap berangkat sekolah.

“Aktivitas di luar sekolah mereka nyaris tak terkontrol,” keluh Waryono.

Baca juga: Buruh Migran: ”Kami Akan Terus Berjuang Menuntut Pengakuan, Perlindung, dan Keadilan”

Dari ratusan anak TKI yang menempuh pendidikan formal mulai SD hingga SMP, jumlah siswa yang memiliki catatan akademik bagus bisa dihitung dengan jari. Kenakalan ini biasanya makin menjadi saat menginjak bangku SMP.

Tak hanya jauh dari ayah ibu, anak-anak TKI ini masih harus menanggung dampak dari perceraian orang tua yang jamak terjadi di kalangan pekerja luar negeri. Rendahnya intensitas bertemu pasangan di rumah, entah suami yang merantau ataupun istri, tak sedikit yang berakhir dengan perceraian.

“Bahkan pernah satu RT (Rukun Tetangga) jumlah yang bercerai 17 pasangan sekaligus,” kata Waryono.

Rata-rata para suami atau istri ini terjerat hubungan asmara dengan sesama TKI di luar negeri hingga meninggalkan pasangan dan anak di rumah. Bahkan tak sedikit pria atau wanita idaman lain yang menjadi pasangan selingkuh itu tetangga desa sendiri. Dan yang mengejutkan, hampir seluruh kisah asmara terlarang itu berawal dari media sosial Facebook.

Edi Sukirman, seorang penyalur tenaga kerja yang bekerja untuk agen di luar negeri atau yang biasa disebut sponsor mengaku kerap menguruskan perceraian mereka. Untuk kebutuhan itu, Edi memiliki kenalan pengacara yang bisa mengurus administrasi perceraian hingga persidangan di Pengadilan Agama.

Baca juga: Negara Dinilai Gagal Lindungi Buruh Migran

“Hampir semua perselingkuhan itu berawal dari chatting facebook sesama TKI,” tuturnya.

Faktor lain yang memicu perceraian ini adalah sikap pasangan di rumah, terutama suami yang memilih tak bekerja dengan dalih merawat anak. Sehari-hari mereka nongkrong dan pergi ke warung sambil menunggu kiriman uang dari istrinya. Tak sedikit dari mereka justru menghambur-hamburkan jerih keringat istrinya untuk kebutuhan tak jelas.

Meski tak semua pria yang ditinggal istrinya menjadi TKI menganggur, namun jumlah pendapatan mereka dipastikan jauh lebih rendah dari pasangan. Rata-rata mereka bekerja serabutan ataupun ke ladang sambil mengelola uang kiriman untuk kebutuhan sehari-hari.

“Suami yang pintar biasanya bisa mengatur uang kiriman untuk memperbaiki rumah, membeli mobil, atau membeli sawah dan tanah,” kata Waryono.

Baca juga: Buruh Migran Hongkong, desak Jokowi cabut izin pertambangan Banyuwangi

Peliknya persoalan yang dihadapi anak-anak TKI ini menjadi keprihatinan khusus para guru di sekolah mereka, terutama anak-anak yang menjadi korban perceraian. Meski mendapat perhatian lebih dari guru sekolah, namun pengaruh lingkungan di rumah dan pergaulan kerap tak mempan membentengi mereka menjadi anak baik.

Mamik, istri Waryono yang mengajar di SD terpisah juga kerap merasa trenyuh saat tiba-tiba dirangkul ataupun diperlakukan seperti ibu oleh para anak-anak TKI di sekolah. Kerinduan yang besar kepada ibu mereka kadang dilampiaskan dengan bermanja kepada guru perempuan ataupun sosok lain di lingkungan rumah. “Banyak yang tiba-tiba minta pangku saat saya duduk,” kata Mamik tertawa.

Namun dia cukup memaklumi perilaku itu mengingat tak sedikit dari mereka yang sudah ditinggal ibunya sejak masih balita hingga duduk di bangku SD. Sayangnya tak semua anak-anak itu menyelesaikan pendidikan formal hingga ke jenjang perguruan tinggi. Rata-rata mereka akan mencari pekerjaan ataupun mengikuti jejak orang tuanya menjadi TKI setelah menyelesaikan pendidikan SMA.

Sumber: tgr

Pos terkait