Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu

Jakarta,KPonline – Aturan mengenai sistem pemilihan umum sebagaimana diatura dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut.

Para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Bacaan Lainnya

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.

Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.

Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persangan bebas dengan pmenempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Meskinya konpetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

“Sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Dalam praktiknya, calon anggota legislatif yang terpilih dalam pemilu berdasaekan sistem suara terbayak tidak memiliki perilaku dan sikap yang terpola untuk menghormati lembaga kepartaian, lemahnya loyalitas pada partai politik dan tidak tertib pada garis komando kepengurusan partai politik.hal ini akan berakibat pada krisis kelembagaan partai politik dalam berbangsa dan bernegara,” jelas Sururudin dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.

Biaya Sangat Mahal

Lebih jelas Sururudin mengatakan para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga, sambung Sururudin, apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pelilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

“Adanya sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut diambil menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo.

Apabila melihat sejarah pemilu di Indonesia sebelumnya, sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup di mana pemilih hanya memilih partai politik karena sejatinya bedasarkan UUD 1945 kontestan pemilu legislatif adalah partai politik, kemudian partai politiklah yang menunjuk anggotanya untuk duduk di DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada alasan-alasan yang kami terangkan di atas memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” jelas Sururudin.

Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

“Menyatakan frasa “proporsional” pada Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup’,” tandas Sururudin.

Bangunan Argumentasi

Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan agar para Pemohon menguraikan kedudukan hukumnya. Utamanya menyoal kerugian yang bersifat faktual dan konkret, sebab pada alasan permohonan para Pemohon hanya menjelaskan kerugian yang bersifat filosofis dari diterapkannya UU Pemilu.

“Selain itu, para Pemohon juga bisa membuatkan matriks perbandingan dari sistem terbuka dan tertutup dalam pelaksanaan pemilu yang misalnya biaya tinggi, memunculkan liberalis, kedaulatan partai dan lainnya. Bisa diuraikan lebih jelas lagi dalam perbaikan permohonan nantinya,” kata Arief.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agara para Pemohon yang terdiri atas enam warga negara Indonesia yang mengujikan sembilan norma tentang kerugian yang dialami atas berlakunya norma-norma tersebut. “Apa saja hubungan sebab-akibat dari norm aini terhadap para Pemohon, sehingga terlihat kerugian konstitusionalnya,” terang Wahidudin.

Sementara Hakim Konstitusi Saldi meminta agar para Pemohon membuat bangunan argumentasi tentang ketiadaan sistem pemilu yang tidak dijabarkan dalam konstitusi, sehingga hal ini dapat saja melahirkan kebijakan hukum terbuka.

Oleh karenanya perlu bagi para Pemohon untuk menjabarkan alasan soal sistem proporsional terbuka dan tertutup tersebut sehingga MK merasa perlu untuk memutuskannya. “Carikan bangunan argumentasi untung rugi proporsional terbuka dan tertutup ini, untuk melihat implikasinya,” jelas Saldi.

Pemohon adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P)), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem)), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022).

Sebelum mengakhiri persidangan, Saldi memberikan informasi kepada para Pemohon untuk dapat menyempurnakan permohonan selambat-lambatnya hingga Selasa, 6 desember 2022 pukul 10.00 WIB. Sementara itu, agenda sidang berikutnya akan diberitahukan kemudian oleh Kepaniteraan MK pada para Pemohon. (*)

Pos terkait