Mengibarkan Bendera Kematian di Depan Kantor BPJS Kesehatan

Mengibarkan Bendera Kematian di Depan Kantor BPJS Kesehatan

Jakarta, KPonline – Puluhan pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) mendatangi kantor pusat BPJS Kesehatan. Mereka membawa bendera kuning. Bendera yang sering dipasang dan dibawa ketika ada warga yang meninggal dunia.

Ya, bendera kuning adalah bendera kematian. Lantas mengapa bendera ini dikibarkan di depan kantor BPJS Kesehatan?

Bacaan Lainnya

Aksi FSPMI menggeruduk di BPJS Kesehatan dilakukan usai pemakaman sahabat sekaligus teman seperjuangan mereka di PUK SPAI FSPMI PT FNG.

Namanya Imam Purwanto. Penderita gagal ginjal yang di PHK secara sepihak oleh perusahaan, dan tidak bisa mengakses layanan BPJS Kesehatan setelah perusahaan tidak lagi membayarkan iuran.

Dari Pekerja Penerima Upah (PPU), Purwanto bisa beralih ke mandiri. Tetapi apalah daya, dalam kondisi tidak bekerja akibat PHK yang dialaminya, tetap saja hal itu menyulitkan dirinya.

Untuk mereka yang meninggal dunia, kita bisa menyebut nama. Termasuk di usia berapa dan berdomisili di mana. Tetapi bagaimana jika yang mati adalah hati nurani?

Hati yang mati, akibatnya sungguh mengerikan sekali. Mereka tidak lagi peduli dengan orang-orang yang kesulitan. Baginya, kematian adalah suatu kepastian – kalau sudah saatnya mati ya pasti akan mati. Kematian tidak lagi dipandang dari sisi kemanusiaan, duka yang mendalam bagi mereka yang kehilangan.

Mengibarkan bendera kematian di depan kantor pusat BPJS Kesehatan, sejatinya merupakan aksi simbolik bahwa lembaga ini mustinya mengabdi pada kehidupan. Tidak boleh ada lagi mereka yang mati sia-siap karena keterbatasan akses untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Apalagi BPJS Kesehatan di design untuk seluruh rakyat Indonesia. Dimana untuk warga yang tidak mampu, dibiayai melalui mekanisme Penerima Bantuan Iuran (PBI). Aksi ini sekaligus protes keras, agar tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi di kemudian hari.

Kembali pada kasus Imam Purwanto. PHK yang dialaminya, juga banyak buruh di perusahaan ini yang masih berjuang, belum memiliki kekuatan hukum tetap. Proses perselisihan masih berjalan. Karena itu, selama peselisihan masih berlangsung, maka hak-hak pekerja harus tetap diberikan.

Apalagi, sebelum pihak pengusaha melakukan PHK, ada dugaan iuran BPJS tetap dipotong namun tidak disetorkan ke BPJS Kesehatan.

Ini bukan saja tentang indikasi adanya tindak pidana. Tetapi tidak menyetorkan iuran BPJS Kesehatan, sementara hubungan kerja belum putus, adalah sebuah pelanggaran. Pekerja dirugikan, karena tidak bisa lagi mengakses layanan kesehatan melalui BPJS.

Hal-hal seperti ini, semestinya tidak diberikan toleransi. Itu jika kita benar-benar menempatkan kesehatan sebagai hak rakyat, yang keberadaannya tidak bisa diganggu gugat.

Layanan BPJS Kesehatan Dihentikan Sepihak, Buruh PT Freeport Indonesia Gugat BPJS Kesehatan

Selain protes yang dilakukan FSPMI, beberapa bulan yang lalu, ribuan buruh PT Freeport Indonesia dan perusahaan subkontraktornya juga pernah mengajukan gugatan “class action” terhadap BPJS Kesehatan. Gugatan ini dilakukan untuk menyikapi pemblokiran secara sepihak kepesertaan mereka dalam program perlindungan sosial bidang kesehatan.

“Basis material gugatannya sama dengan sebelumnya atas tindakan sepihak BPJS dan Freeport. Tapi yang sekarang adalah gugatan class action dengan perwakilan,” kata kuasa hukum penggugat, Harris Azhar dari kantor Hukum dan HAM Lokataru kepada Kontan.co.id, Selasa (29/5).

Dalam gugatannya, penggugat menuntut ganti rugi senilai Rp 118,82 miliar dengan rincian kerugian material senilai Rp 78,62 miliar yang rinciannya dibagi atas dua kelompok.

Pertama senilai Rp 57,60 miliar sebagai tunggakan iuran BPJS 4.000 karyawannya, dan kedua senilai Rp 21,02 miliar sebagai kerugian bagi 12 orang yang meninggal atau kepada ahli warisnya atas pemblokiran BPJS Kesehatan. Pun adapula tuntutan kerugian imaterial senilai Rp 40 miliar.

Pemblokiran BPJS Kesehatan ini dinilai Harris merupakan perbuatan melawan hukum lantaran, ada fungsi jaminan sosial dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

“BPJS punya fungsi jaminan sosial, dan itu bagian dari Hak Asasi Manusia yang merupakan tanggung jawab negara. Jadi tak bisa dilihat secara kontraktual saja atas pemberi kerja memberikan asuransi kesehatan kepada pekerja,” lanjut Harris.

Harris menjelaskan, gugatan ini sendiri bermula atas kebijakan Furlough alias perumahan karyawan pada 26 Februari 2017 lalu. Atas kebijakan tersebut kemudian, sekitar 3.274 pekerja Freeport ditambah ribuan pekerja dari kontraktor Freeport sehingga total berjumlah 8000-an pekerja kemudian melangsungkan aksi mogok kerja.

Menyatukan Kekuatan

Pada akhirnya, seluruh elemen masyarakat harus menyatukan kekuatan untuk mendesak agar hak atas jaminan kesehatan dipermainkan.

Bendera kematian yang dikibarkan di depan BPJS Kesehatan, adalah kritik keras agar lembaga ini terus meningkatkan pelayanannya. Gerakan ini tidak akan berhenti sampai di sini. Karena kesehatan adalah hak asasi yang musti diperjuangkan sampai mati.

Dalam hal ini, saya tertarik dengan komentar pemilik akun Facebook Ocha Herma-one. Bahwa ini adalah momentum untuk meminta ketegasan semua pihak, terutama penguasa.

Oleh karenanya, jangan diam!