Mengapa Bupati dan Kadisnakertrans Karawang Terkesan Beda Pendapat Terkait UMK?

Karawang, KPonline – Ini nyaris berulang setiap tahun. Upah naik, kemudian disusul dengan isu PHK besar-besaran. Lalu buruh dijadikan kambing hitam. Mereka beralasan, tuntutan kenaikan upah lah menyebabnya.

Mari kita lihat Karawang. Kabupaten, yang saat ini memegang rekor sebagai upah minimum tertinggi di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Mengapa Karawang? Diberitakan media online Pikiran Rakyat pada 4 Januari 2017, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Ahmad Suroto menyebutkan, pada 2017 sebanyak 18 ribu buruh di Kabupaten Karawang diprediksi bakal kehilangan pekerjaan akibat terkena PHK dan habis masa kontrak kerjanya. Angka tersebut lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 13 ribu orang.

“Perusahaan yang melapor untuk mem-PHK karyawannya sudah tercatat ada 3 perusahaan. Jumlah karyawan yang akan di PHK sekira 5000 orang. Baru awal tahun sudah sebesar ini. Biasanya puncak pemutusan hubungan kerja ada di pertengahan tahun,” katanya.

Menurut Suroto tiga perusahaan yang lapor akan melakukan PHK adalah PT Bina Karya Manunggal sebanyak 1200 karyawan, PT Besco Indonesia sebanyak 500 karyawan. Bahkan PT Hansai sudah menyatakan akan segera tutup dan tidak akan beroperasi lagi di Karawang. PT Hansai memilik 1000 karyawan dan akan di-PHK semuanya.

“Jumlah sebanyak itu belum termasuk yang aka dirumahkan. Totalo karyawan yang akan kehilangan pekerjaan bisa mencapai 5000 orang.”

Apa menyebab buruh di PHK? Suroto mengaku, tingginya UMK di Karawang yang mencapai Rp 3,6 juta memiliki dampak cukup besar terhadap operasional perusahaan, terutama perusahaan yang bergerak di TSK. Saya menangkap kesan, dari kalimat itu, Suroto menyalahkan UMK di Karawang yang memiliki dampak cukup besar terhadap operasional perusahaan.

Ini tentu tidak fair. Harusnya Suroto menyebutkan, berapa persen sesungguhnya upah buruh dari total operasional perusahaan? Jangan-jangan, itu hanyalah dalih yang dibuat-buat. Sejumlah perusahaan, misalnya, mengaku jika order sedang turun sehingga perusahaan mengurangi produksi. Imbasnya, ada pengurangan karyawan. Hal seperti ini terjadi sejak dulu, bahkan ketika upah buruh masih di kisaran ratusan ribu. Jadi tidak perlu lebay mengatakan perusahaan tutup karena upah tinggi, karena toh upah bukan satu-satunya operasional yang harus ditanggung perusahaan.

Alih-alih berada di posisi buruh, Suroto justru seperti menjadi juru bicara bagi kalangan pengusaha.

Saya mencatat, pernyataan Suroto berbeda dengan apa yang disampaikan Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana, yang juga dikutip pikiran-rakyat.com pada tanggal yang sama. Cellica sempat menyebutkan, nilai UMK yang tinggi di Karawang tidak membuat sejumlah perusahaan kapok berada di Karawang.

“Saya sudah berkomunikasi dengan pihak pengusaha seperti Apindo dan Kadin. Sejauh ini, tidak ada masalah dengan pengusaha. Kalau pun ada yang hengkang dan bangkrut, itu masalah pribadi perusahaan,” katanya.

Cellica menjanjikan, Karawang akan tetap menjadi wilayah incaran para investor untuk menanamkan modalnya, meski harus membayar gaji karyawan tinggi. Pola pembangunan infrastruktur yang baik dan perizinan yang mudah akan diberikan kepada para pengusaha.

“Itu akan menjadi tawaran pemerintah daerah kepada para pengusaha. Bantuan program pemerintah pusat untuk mempercepat infrastruktur yang baik membuat Karawang tetap menjadi magnet para investor,” kata Cellica beberapa waktu lalu.

Sebagai anak buah, mestinya Suroto bisa mencontoh Bupati Cellica. Tidak ikut memanas-manasi, bahwa upah lah penyebab perusahaan melakukan PHK terhadap buruh-buruhnya. (*)

Sumber Gambar: mediajurnal

Pos terkait