Membantah Anggapan Upah Tinggi Sebabkan Perusahaan PHK Karyawan

Jakarta, KPonline – Kenaikan upah menyebabkan terjadinya PHK karyawan? Saya temasuk yang tidak sependapat dengan hal itu. Upah bukanlah penyebab dominan sebuah perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja. Bahkan, seandainya jika buruhnya tanpa di upah sekalipun, jika produk dari perusahaan itu tidak laku di pasaran, dipastikan perusahaan itu tidak akan mampu bertahan. Karena dia masih harus membayar bahan baku, listrik, ongkos produksi, dan lain sebagainya.

Ekonom Indef, Dzulfian Syafrian, pernah mengemukakan. Ada sejumlah faktor perusahaan hengkang. Salah satunya semakin ketatnya persaingan usaha.

Bacaan Lainnya

“Mereka kalah bersaing dengan merek-mereka lain. Misal Toshiba kalah dengan samsung, Ford kalah dengan mobil-mobil Jepang seperti Toyota atau Honda,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Dzulfian, mahalnya ongkos produksi. Di era globalisasi seperti saat ini, global supply chain adalah sebuah keniscayaan, hampir tak mungkin dalam memproduksi suatu barang tidak membutuhkan bahan baku impor. “Terlebih dalam konteks Indonesia, konten bahan impor bagi produksi nasional itu sangat tinggi sehingga kita sangat bergantung terhadap impor,” imbuhnya.

Di sisi lain, daya beli masyarakat Indonesia sedang turun baik disebabkan perlambatan ekonomi maupun kepercayaan (confidence) konsumen sedang menurun. Sehingga, konsumen memilih menyimpan uangnya dibanding untuk konsumsi.

Inilah pokok persoalan bagi buruh Indonesia. Ketika kita bicara daya beli, sesungguhnya kita sedang berbicara upah. Dengan upah yang layak itulah, buruh akan memiliki daya beli. Kemampuan untuk membeli akan membuat ekonomi menggeliat. Setidaknya masyarakat memiliki cukup uang untuk membeli hasil produksi.

Itulah sebabnya, saya tidak kaget ketika membaca sebuah berita, PT Beesco Indonesia yang berlokasi di Jalan arteri Karawang-Cikampek, Kecamatan Purwasari, Karawang, dalam waktu dekat akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 500 karyawannya. Sementara 1.000 karyawan lainnya akan dirumahkan. Dalihnya, kebijakan tersebut terpaksa diambil perusahaan akibat naiknya upah buruh pada 2017 ini yang menembus Rp 3.616.017,- per bulan.

“Kami sudah tidak sanggup lagi membayar upah sebesar itu. Kami terpaksa harus mengurangi jumlah karyawan agar perusahaan tetap bisa berproduksi,” ujar General Manager PT Beesco Indonesia, Asep Agustian. Menurut Asep, perusahaan yang memproduksi sepatu untuk diekspor tersebut sebelumnya memiliki 6.500 karyawan. Pendidikan mereka rata-rata hanya lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

“Mereka tidak punya keahlian lain selain membuat sepatu hasil didikan kami,” kata Asep, seperti dikutip pikiran-rakyat.com pada 4 Januari 2014.

Pernyataan Asep, bagi saya cukup menyakitkan. Seolah buruh yang hanya tamat SD tidak berhak mendapatkan upah sebesar itu. Mana yang dipilih oleh perusahaan, lulus SD dengan keahlian membuat sepatu, atau Sarjana tapi tak tahu apa-apa soal pembuatan sepatu? Buruh digaji atas kemampuannya. Lagipula, bicara upah minimum adalah bicara upah dasar. Perut lulusan sarjana dan lulusan SD tak ada bedanya. Sama-sama manusia yang memiliki hak untuk hidup sejahtera.

Hingga akhirnya, Asep mengatakan. “Kami dari sektor TSK hanya memproduksi barang sesuai permintaan pasar. Jika,
pesanannya sedikit, produksi pun harus dibatasi.” Dalam lima tahun terakhir, semua pabrik sepatu di Indonesia terus mengurangi produksi karena minimnya order. Di sisi lain, nilai UMK terus melonjak sehingga harus dilakukan pengurangan jumlah karyawan.

Saya rasa, inilah inti yang sebenarnya. Semua pabrik sepatu di Indonesia terus mengurangi produksi karena minimnya order. Logikanya, jika order sedikit, maka tak perlu lagi mempekerjakan banyak karyawan. Jadi tidak usah berdalih, karena upah naik lah, karena UMK tinggi lah…. (*)

 

Pos terkait