Marak Gula Impor, Petani Tebu Siap Gelar Demo Besar

Marak Gula Impor, Petani Tebu Siap Gelar Demo Besar

Jakarta,KPonline – Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menginstruksikan kepada para petani untuk melakukan aksi memarkir truk tebu di pinggir jalan utama di tiap-tiap pabrik gula pada 24 Agustus 2017.

Menurut siaran pers dari DPN APTRI yang ditandatangani Soemitro Samadikoen (Ketua APTRI) dan M Nur Khabsyin (Sekjen APTRI), pada 28 Agustus mendatang petani tebu juga akan berdemo di istana negara guna menyampaikan aspirasi dan keluhan kepada pengambil kebijakan.

Bacaan Lainnya

Soemitro mengungkapkan, pada Jumat (18/8/2017) DPN APTRI menggelar rapat bersama pengurus DPD dan DPC APTRI se-Indonesia. Rapat yang bertempat di salah satu hotel Surabaya itu membahas persiapan dan finalisasi unjuk rasa ke Jakarta.

“Petani tebu merasa hanya dijadikan korban kebijakan penguasa. Makanya, kami akan mengadakan aksi memarkir truk tebu di pinggir jalan utama di tiap pabrik gula pada Kamis, 24 Agustus 2017,” kata Soemitro.

Soemitro menambahkan, sebenarnya APTRI sudah melakukan berbagai upaya dengan jalan diplomasi menyampaikan aspirasi, keluhan, jeritan dan permasalahan petani tebu kepada pengambil kebijakan di Jakarta. Namun demikian, hingga saat ini belum ada hasil yang diharapkan. “Oleh sebab itu, 28 Agustus 2017, para petani tebu berangkat ke istana untuk demo,” tambahnya.

Menurut Soemitro, ada beberapa pihak yang akan menjadi sasaran demo diantarannya Menteri Perdagangan. Di kementerian tersebut petani mengusung tuntutan agar gula petani dibeli Rp 11 ribu/kg. Kemudian petani juga mendesak agar pemerintah menghentikan impor gula.

Selanjutnya Menteri BUMN. Petani akan menagih janji konpensasi dari impor yaitu jaminan rendemen 8,5% tahun 2016, konpensasi rendemen rendah tahun 2017, serta revitalisasi pabrik gula.

Sementara pembangunan industri gula rafinasi secara besar-besaran yang dimulai pada 2008 lalu, lambat laun mulai mengancam kalangan petani tebu. Kenyataannya, pembelian gula tani di musim giling 2017 masih menemui jalan buntu. Padahal para petani selalu mendesak pemerintah untuk menghentikan peredaran gula kristal putih. Sehingga ada kesempatan bagi gula petani untuk bisa masuk di pasaran.

Saat ini stok gula di pasar penuh dengan gula kristal putih yang merupakan gula sisa impor yang telah dilakukan oleh pemerintah. Ruang bagi gula petani lokal sulit untuk bisa masuk.

Nur Khabsyin mengatakan, peredaran gula kristal putih harus dihentikan sampai akhir Desember 2017. “Ya, biar ada kesempatan gula lokal untuk masuk ke pasaran,” ujarnya, belum lama ini.

Ia melanjutkan, pertemuan antara petani tebu, pedagang serta produsen gula rafinasi yang difasilitasi Dirjen Perdagangan Kementerian Perdagangan juga belum membuahkan hasil. Para pedagang sendiri baru mau membeli gula tani dengan syarat sudah ada keputusan soal PPN.

“Namun soal harga, mereka belum ada penawaran sama sekali. Jadi tak ada kesepakatan untuk membeli gula tani,” ungkapnya.

Para petani, katanya, memang meminta gula tani dibeli dengan harga Rp11.000/kilogram. Dengan harga itu, mereka masih bisa meraup keuntungan dari masa tanam dan produksi.

“Kalau mengacu dengan hasil rata-rata lelang tahun lalu, harganya memang sekian. Lihat saja biaya pokok produksi sudah mencapai Rp10.600 per kilogram,” ucapnya.

Di Indonesia ada beberapa pabrik gula rafinasi yang menggunakan gula mentah (impor) sebagai bahan bakunya untuk selanjutnya diproses menjadi gula kristal putih. Gula yang dihasilkan inilah yang di masyarakat disebut gula rafinasi. Bila dikonsumsi langsung, tentu membahayakan kesehatan.

Sayangnya yang terjadi di masyarakat tidak demikian. Kini, gula impor tersebut mulai beredar di masyarakat. Padahal, harusnya gula impor untuk konsumsi industri. Ini bagian dari tantangan baru yang dihadapi petani gula.

Masuknya gula impor dengan bebas, sebut Arum, merupakan sebuah konspirasi yang maha dahsyat. Betapa tidak, produktifitas luar biasa yang dihasilkan petani tebu pada akhirnya hanya akan menjadi arus gelombang sejarah.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, benarkan pemerintah melindungi konsumen atau sekedar berburu keuntungan impor? Di sini mestinya Presiden Jokowi bertindak adil. Kalau konsumen harus dilindungi, maka jangan mematikan sumber pangan Indonesia dalam hal ini petani. Yang perlu diingat, petani juga konsumen dan produsen.

Sebut saja pemerintah melakukan impor 4 juta ton. Di balik itu ada keuntungan Rp 1.000, maka sudah dapat dipastikan keuntungannya Rp 4 triliun. Kalau mau peduli dengan nasib petani, keuntungan Rp 4 triliun itu dapat disisihkan atau dikembalikan kepada para petani, baik untuk mensubsidi harga gula atau paling tidak uangnya digunakan untuk mendirikan pabrik gula baru.(Ete)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *