Kecam Pemerintah dan DPR RI yang Paksakan Omnibus Law, Buruh Semarang Nekad Aksi Topo Pepe Nyadong Pocong

Kecam Pemerintah dan DPR RI yang Paksakan Omnibus Law, Buruh Semarang Nekad Aksi Topo Pepe Nyadong Pocong

Semarang, KPoline – Merasa gerah dengan sikap Pemerintah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang terus bersikukuh untuk melaksanakan pembahasan Omnibus Law di tengah-tengah pandemic Covid-19, Ahmad Zainuddin yang merupakan seorang pegiat buruh di Kota Semarang dan Ketua DPD FSP KEP KSPI Jawa Tengah ini, melakukan aksi ‘Topo Pepe Nyadong Pocong’ pada hari Selasa (14/7/2020), berlokasi di Bundaran Air, Mancur Jl. Pahlawan, Semarang.

Topo Pepe Nyadong Pocong  diambil dari istilah Jawa, yang artinya kurang lebih sebagai berikut : ‘Topo Pepe’ berarti bertapa dengan berjemur diri kemudian ‘Nyadong’ berarti meminta, sedangkan kata  ‘Pocong’ sebagai simbol kematian nurani dan akal sehat. Dengan kata lain ‘Topo Pepe Nyadong Pocong’ dimaknai berupa rangkaian kegiatan/aksi bertapa (berdiam diri) di ruang terbuka untuk menuntut kepada Pemerintah dan DPR RI agar menghentikan pembahasan Omnibus Law sekaligus membatalkan rencana pembuatan UU tersebut.

Bacaan Lainnya

Aksi yang rencananya akan di laksanakan selama 3 (tiga) hari tersebut akan didampingi oleh 10 orang pendamping dengan Koordinator pendamping adalah Aulia Hakim yang juga merupakan Ketua DPW FSPMI KSPI Jawa Tengah. Tampak pula dalam aksi tersebut Sunandar selaku Ketua Umum FSP KEP KSPI yang mengawalinya dengan memimpin do’a.

Dalam keterangannya kepada tim Media Perdjoeangan Jawa Tengah, Ahmad Zainuddin memberikan alasannya kenapa dirinya melakukan aksi tersebut.

“Rancangan Undang-Undang Omnibus Law sudah banyak ditentang buruh dan masyarakat  karena isinya tidak sejalan dengan UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Dalam proses penyusunannya pun juga menyalahi kaidah pembuatan Undang-undang. Pada situasi bangsa yang sedang bekerja keras melawan virus Corona pemerintah dan DPR RI justru terkesan memaksakan kehendaknya dengan mengabaikan aspirasi rakyat,” ucapnya.

“Hal itu dibuktikan dengan arogansi kekuasaan yang mana rakyat dilarang berkumpul dan dipaksa untuk tetap di rumah sementara DPR RI secara terus menerus melanjutkan pembahasan. Hal ini tentunya sangat mencederai demokrasi dan bentuk penghianatan terhadap amanat rakyat,” lanjutnya kemudian.

Seperti yang telah diketahui bahwa dalam Rapat Tim Bersama (Pemerintah, Kadin/Apindo, dan SP/SB) pada tanggal 10 Juli 2020 bertempat di Hotel Royal Jakarta, pemerintah menegaskan bahwa pembahasan Omnibus Law di DPR RI akan tetap/terus dijalankan tanpa kompromi.

Sedangkan Omnibus Law pada kluster ketenagakerjaan jelas sangat membahayakan perikehidupan rakyat buruh beserta keluarganya. Hal itu diakibatkan karena terhapusnya upah minimum yaitu UMK dan UMSK dan memberlakukan upah perjam dibawah upah minimum, mengurangi nilai pesangon, penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatif, menghapus cuti dan menghapus hak upah saat cuti, kemudahan masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) buruh kasar di Indonesia,  mereduksi jaminan sosial,  mudahnya PHK sewenang wenang tanpa izin pengadilan perburuhan, serta hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha.

Dan aksi ‘Topo Pepe Nyadong Pocong’ ini adalah sebagai bentuk kekecewaan buruh terhadap matinya nurani dan akal sehat sekaligus memperingatkan Pemerintah dan DPR RI agar jangan memaksakan kehendaknya. (Sup)

Pos terkait