Karhutla Dan tagar SawitBaik Dalam Perspektif Buruh Perkebunan

Jakarta,KPonline –  Sepanjang Senin (17/9) kemarin Kemenkoinfo tengah menjadi perbincangan netizen di Twitter usai mengkampanyekan tagar #SawitBaik.

Tetapi momen ini dikatakan sangat tak tepat, pasalnya saat ini di beberapa daerah dilanda bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Bacaan Lainnya

Tagar #SawitBaik ini rupanya sebuah akun dengan nama @SawitBaikID di Twitter dan baru saja dirilis.

Akun @SawitBaikID membuat tweet. ”Gerakan Nasional ini menciptakan dukungan publik di medsos, menjawab berbagai isu negatif terhadap sawit, menyebarluaskan berbagai hal positif dari sawit, menumbuhkan kecintaan terhadap produk sawit, dan terwujudnya partisipasi aktif masyarakat dalam kampanye ini #SawitBaik”

Cuitan akun @SawitBaikID tersebut lalu dibantah dengan komentar netizen yang kontra dan mengatakan Kementrian Kominfo telah salah memilikh waktu untuk kampanye #SawitBaik.

@aqfiazfan ”Disaat jutaan orang sesak nafasnya akibat kebakaran hutan (perusahaan sawit), kominfo kita malah gencar campaign #SawitBaik”

@ismailfahmi ”Sekarang bukan saat yg tepat, malah saat yg buruk buat kampanye sawit. Lagi berduka karena kebakaran, yg biasanya dijadikan lahan sawit. Kontraproduktif. Kedua, “never ever” pake give away dan bot. Sangat kontra produktif. Kalau bulan ini main, baiknya di level internasional. ”

Memang musibah karhutla kerap dikaitkan dengan pembukaan kebun kelapa sawit oleh korporasi besar. Alhasil, #SawitBaik malah dikembangkan para netizen untuk serangan balik . menarik adalah laporan dari Bupati Pelalawan bahwa 80 persen wilayah kebakaran hutan dan lahan selalu berubah menjadi lahan perkebunan sawit atau tanaman industri lainnya.

Dari data hasil analisis dari situs fires.globalforestwatch.org tentang titik api di Indonesia dari tanggal 1 Agustus sampai 14 September 2019, menunjukkan bahwa titik api atau identik dengan lokasi kebakaran hutan terjadi di luar kawasan konsesi sawit atau hutan industri. Sebanyak 85 persen areal kebakaran diluar konsesi sawit.

Dan Faktanya sawitbaik berbanding terbalik dengan nasib jutaan buruh sawit di Indonesia. Buruh sawit saat ini dikungkung dan diforsir untuk memproduksi “emas hijau” Indonesia yang sangat bernilai.

Litbang Media Perdjoeangan setidaknya mencatat dua permasalahan utama yang dihadapi buruh sawit, yaitu terkait penegakan hukum yang lemah karena pembiaran terjadinya eksploitasi buruh sawit akibat dari target kerja terlampau tinggi

Selain itu, status pekerja buruh sawit juga tidak memiliki kejelasan. Banyak tenaga kerja yang bersifat tidak tetap sehingga keselamatannya tidak menjadi tanggungan perusahaan. Tidak hanya itu, praktik upah murah yang melanggar ketentuan juga masih terjadi di kalangan buruh sawit.

Selama ini jaminan perlindungan yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan UU Nomor 13/2003 dinilai gagal memberikan perlindungan pada buruh sawit karena landasan kriteria UU Ketenagakerjaan adalah sektor manufaktur.

Contohnya adalah jam kerja, beban kerja (3.000 kalori/hari), peralatan kerja, dan ketersediaan teknologi. Sifat pekerjaan di perkebunan sama sekali berbeda, dimulai dengan kebutuhan kalorinya yang jauh lebih tinggi dan penerapan beban kerja yang tidak bisa hanya ditetapkan berdasarkan waktu kerja.

Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga tidak menetapkan sistem lembur. Padahal, akibat target panen yang tinggi disertai dengan ancaman sanksi denda jika tidak mencapai target, para buruh terpaksa bekerja lebih lama dari batasan waktu yang ditetapkan yaitu rata-rata 12 jam setiap hari.

Kini ada sekitar 10 juta orang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit dan setidaknya 70% buruh sawit adalah buruh harian lepas, yaitu pekerja yang tidak memiliki kepastian kerja, penghasilan maupun masa depan.

Pos terkait