Jalan Panjang Menuju Ratifikasi Konvensi ILO 176

Jakarta, KPonline – Meskipun sudah ada sejak tahun 1995, tetapi Konvensi ILO 176 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tambang belum diratifikasi oleh Indonesia.

Padahal, berdasarkan data BPS pada Februari 2017, ada 1,3 juta pekerja tambang di Indonesia. Jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan kesehatan dan keselamatan kerja di tambang.

Berdasarkan penelusuran koranperdjoeangan.com, desakan agar Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 176 menguat pasca longsornya area penambangan PT Freeport Indonesia, Mei 2013.

Saat itu, kalangan serikat pekerja menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dituntut untuk meratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 176 tentang Keselamatan Tenaga Kerja.

“Presiden harus segera meratifikasi konvensi ILO No.176 tentang Keselamatan Pekerja yang selama ini diabaikan. Pemerintah harus melakukan pengamanan terhadap kasus PT Freeport saat ini juga,” kata Said di Jakarta, Senin (20/5).

Presiden KSPSI, Said Iqbal mengungkapkan penyesalan terhadap sikap yang ditunjukkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar yang selalu menolak ratifikasi ILO No.176 tersebut.

Said Iqbal lantas menduga, selama ini ada lobi-lobi yang dilakukan antara pengusaha besar pertambangan dengan pemerintah, dimana pengusaha tambang tersebut tidak mau menjalankan prosedural internasional mengenai keselamatan pekerja tambang.

“Ya, saya menduga adanya praktek kongkalikong yang terjadi diantara pihak pengusaha dengan pihak pemerintah, khususnya kementerian terkait tersebut,” katanya.

Ketua IndustriALL Indonesia Council yang saat itu dijabat Sjaiful DP mengatakan, musibah seperti di Freeport dapat terjadi karena pemerintah enggan meratifikasi konvensi ILO No 183 dan 176 yang mengatur soal keselamatan kerja, khususnya di industri pertambangan.

Menurut dia, ketika pemerintah meratifikasi Konvensi ILO tersebut, maka perusahaan tambang harus mengeluarkan biaya untuk membuat jalur evakuasi alternatif.

Mengingat tambang bawah tanah PT Freeport sangat luas dan kedalamannya mencapai 4 ribu kilometer, maka biaya yang harus dikucurkan tergolong besar. Tapi, berapapun biayanya Sjaiful mengatakan jalur evakuasi itu penting untuk menjamin keselamatan para pekerja.

“Konvensi ILO nomor 176 tidak pernah diratifikasi, padahal resiko pekerja tambang sangat besar. Konvensi itu menyaratkan harus ada jalur evakuasi alternatif,” kata Sjaiful dalam jumpa pers di Jakarta.

Ledakan di Tambang Sawah Lunto
Sjaiful DP (depan paling kiri), saat menghadiri Worskhop Kesehatan Keselamatan kerja di Tambang, 31 Agustus 2017.

Ketika menjadi moderator dalam Seminar Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tambang di Jakarta, 31 Agustus 2017, Sjaiful DP mengatakan bahwa sebenarnya desakan agar Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 176 sudah muncul sejak tahun 2009.

Saat itu, terjadi kecelakaan kerja di Sawah Lunto.

Tambang bawah tanah itu dikerjakan secara manual. Ledakan terjadi akibat semburan gas metan. Pengelola diduga mengabaikan peringatan inspektur tambang.

Ledakan dasyat menghanguskan puluhan pekerja tambang yang berjibaku di kedalaman 100 meter lebih, Selasa pagi, 16 Juni 2009. Kecelakaan tragis itu diperkirakan terjadi sekitar pukul 10.00 WIB, pada wilayah Kuasa Pertambangan (KP) Eksploitasi batubara PT Dasrat Sarana Arang Sejati.

Korban tewas sedikitnya 32 orang. Keseluruhan korban mengalami luka bakar serius, sekujur jasadnya hangus terbakar.

Pada hari yang sama, Walikota Sawah Lunto pun memutuskan menutup 10 tambang batubara underground (bawah tanah) dengan status eksploitasi, yang beroperasi di wilayahnya. Di Kota Sawahlunto sendiri saat itu beroperasi 13 tambang batubara dengan status eksploitasi, 10 diantaranya adalah tambang underground. Tiap-tiap tambang mempekerjakan 40 – 50 orang dengan teknik manual dan tingkat produksi batubara hanya 1.500 – 2.000 ton per bulan.

Kecelakaan kerja di sejumlah tambang manual di Sawah Lunto bukanlah yang pertama. Sebelumnya kecelakaan serupa juga kerap terjadi. Marpaung mengatakan kejadian itu dimungkinkan karena kondisi tambang bawah tanah yang dikelola secara manual, memang sangat berbahaya.

Selama ini peristiwa tewasnya pekerja tambang sudah kerap terjadi. Sejak maraknya tambang liar di Sawahlunto sekitar 1997, hampir setiap minggu ada saja korban tewas. Kecelakaan kerja yang terjadi akibat buruknya kondisi tambang minimnya pengetahuan penambang, dan alat-alat kerja yang tidak memenuhi standar.

Peristiwa tewasnya pekerja tambang selama ini juga tidak pernah dilaporkan ke pihak berwajib. Begitu ada korban tewas, pengelola tambang berusaha menyembunyikan dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Tujuannya menghindari tindakan dari pihak berwenang agar aktivitas penambangan tetap berlangsung.

Saat itu, serikat pekerja mengirimkan surat ke Presiden dan para Menteri tekait Konvensi ILO 176. Tetapi tidak ada jawaban.

Desakan untuk untuk meratifikasi Konvensi ILO 176 kembali menguat setelah terjadi kecelakaan di Freeport, pada 2013 itu.

Saat itu, sebenarnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mendukung ratifikasi. Sayangnya, terhambat di Kementerian ESDM.

Diskusi IndustriALL Tahun 2015

Tahun 2015, tepatnya tanggal 13 November, diselenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Team Serikat Pekerja/Buruh Tambang anggota IndustriALL Indonesia.

Dalam kesimpulannya, FGD menghasilkan beberapa catatan, antara lain:

1. FGD sangat prihatin terhadap peristiwa –peristiwa kecelakaan kerja yang terjadi di Tambang-Tambang Indonesia yang menimbulkan kematian dikalangan pekerja anggota Serikat Pekerja. Karena itu 3 Serikat Pekerja /Buruh Tambang Indonesia(FSPKEP, FPE-SBSI, FSSPKEP SPSI) mencoba mencari alternatif solusinya.

2. FGD menyadari bahwa otoritas Keselamatan Kerja di Pertambangan berada di Kementerian ESDM, bukan pada Kementerian Tenaga Kerja.

3. FGD mencatat bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh Inspektur Tambang Tingkat Propinsi dan Kabupaten belum berjalan efektif. Salah satu diantaranya dikarenakan Kebijakan Keselamatan Kerja Kementerian ESDM tidak mengenal/melaksanakan ketentuan:UU No.1 tahun 1970 tentang K3 dan PP NO:50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistim Manajemen K3. Serta tidak mengenal keberadaan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja(P2K3) dan tidak memberikan ruang bagi Serikat Pekerja/Buruh untuk berpartisipasi dalam proses melindungi para pekerja anggotanya dari ancaman kecelakaan kerja.

4. FGD setelah mempelajari dengan seksama menganggap bahwa Konvensi ILO No:176 tentang Keselamatan kerja di pertambangan adalah alternatif solusi untuk: Mencegah/mengurangi peristiwa kecelakaan kerja di pertambangan.

5. FGD menganggap perlu untuk menyebarluaskan terjemahan konvensi ILO 176, dalam pelbagai bentuk publikasi serta menyusun Training Material mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja, khususnya kepada kalangan pengurus Serikat Pekerja Pertambangan.

6. FGD menganggap perlu untuk membentuk FORUM SERIKAT PEKERJA/BURUH TAMBANG INDONESIA untuk mengaktualisasikan pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam FGD , dengan personil Panitia Pengarah yang terdiri dari: a.Sjaiful DP – Ketua Umum DPP F SPKEP, R.Abdullah – Ketua Umum PP SPKEP-SPSI, Riswan Lubis – Ketua Umum PP SB FPE.

7. Panitia Pelaksana Forum Serikat Pekerja/Buruh Tambang Indonesia akan dibentuk/ditetapkan segera oleh Panitia Pengarah.

8. FGD merekomendasi kan kepada : DPP F SPKEP, PP FPE-SBSI, PP SPKEP-SPSI untuk menetapkan langkah-langkah bersama sebagai berikut dibawah ini: (a) Menetapkan konsensus bersama untuk meratifikasi Konvensi ILO NO: 176 tentang Keselamatan Kerja di Pertambangan; (b) Membentuk Komite Aksi Ratifikasi Konvensi ILO N:176, yang terdiri dari team legal drafting, team lobby, team aksi, team legal drafting diharapkan menyelenggarakan: diskusi terbatas dan seminar; (c) penyusunan draft RUU ratifikasi konvensi ILO No: 176., draft RUU Ratifikasi Konvensi ILO, diserahkan kepada Eksekutif (Menteri Tenaga Kerja RI dan MENKUMHAM) dan legislatif(Pimpinan DPR RI. Pimpinan Komisi VII dan Komisi IX serta Badan Legislatif DPR RI; (d) Melakukan aksi pengawalan melalui: lobby dan aksi; dan (e) Mengembangkan jaringan kerjasama dengan: Lembaga-Lembaga dan individu yang menaruh perhatian.

9.FGD mengusulkan kepada IndustriALL agar melakukan pendekatan dengan Lembaga-Lembaga Multilateral untuk melakukan tekanan-tekanan kepada pemerintah Indonesia supaya mengambil langkah-langkah segera guna meratifikasi Konvensi ILO NO: 176.

10.FGD menyerukan kepada para fungsionaris SP/B Pertambangan untuk mempidanakan kasus-kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian pekerja/anggota.

11.FGD mengingatkan kepada para fungsionaris SP/B Pertambangan untuk memperhatikan gizi pekerja dan dokter ahli K3.

Petisi Online

Tahun 2016, sempat ada petisi online di change.org. Petisi yang dibuat oleh CEMWU SPKEP-SPSI ini ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia dan ditembuskan kepada Ketua DPR – RI, Menteri ESDM – RI, Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi – RI, dan Menteri Hukum dan HAM – RI.

Adapun isi dari petisi online adalah sebagai berikut:

Bahwa atas keprihatinan terhadap peristiwa –peristiwa kecelakaan kerja yang terjadi di Tambang-Tambang Indonesia yang menimbulkan kematian dikalangan pekerja anggota Serikat Pekerja maka 3 Serikat Pekerja /Buruh Tambang Indonesia (FSPKEP, FPE-SBSI, FSPKEP SPSI) yang tergabung dalam IndustriALL Global Union mengadakan FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) KONVENSI ILO NO:176 TENTANG KESELAMATAN KERJA DI PERTAMBANGAN mencoba mencari alternatif solusinya.

FGD menyadari bahwa otoritas Keselamatan Kerja di Pertambangan berada di Kementerian ESDM, bukan pada Kementerian Tenaga Kerja.

FGD mencatat bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh Inspektur Tambang Tingkat Propinsi dan Kabupaten belum berjalan efektif. Salah satu diantaranya dikarenakan Kebijakan Keselamatan Kerja Kementerian ESDM tidak mengenal/melaksanakan ketentuan:UU No.1 tahun 1970 tentang K3 dan PP NO:50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistim Manajemen K3. Serta tidak mengenal keberadaan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja(P2K3) dan tidak memberikan ruang bagi Serikat Pekerja/Buruh untuk berpartisipasi dalam proses melindungi para pekerja anggotanya dari ancaman kecelakaan kerja.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka menurut kami setelah mempelajari dengan seksama menganggap bahwa Konvensi ILO No:176 tentang Keselamatan kerja di pertambangan adalah alternatif solusi untuk : Mencegah /mengurangi peristiwa kecelakaan kerja di pertambangan.

Oleh karena nya, kami memohon Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia sebagai kepala Pemerintahan Republik Indonesia agar dapat meratifikasi Konvensi ILO No.176 Tahun 1995.

Aksi Unjuk Rasa
Buruh melakukan unjuk rasa di depan DPR RI menunrut ratifikasi Konvensi ILO 176.

Ratifikasi Konvensi ILO 176 juga disuarakan saat elemen buruh melakukan aksi pada tanggal 7 Oktober 2016 untuk memperingati International World Day for Decent Work di depan gedung DPR/MPR.

Tujuan dari aksi unjuk rasa ini adalah untuk mendesak agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO yang terkait dengan Decent Work, diantaranya Konvensi No 176 tentang kesehatan dan keselamatan di tambang dan Konvensi ILO No 183 tentang Maternitas.

Tercatat, kembali ada pertemuan pada tanggal 10 – 11 Juli 2017 yang dihadiri 30 orang peserta dari FSPKEP, CEMWU, FPE, dan FSP ISI. 10 – 11 Juli juga mengadakan workshop. Pertemuan dihadiri 30 orang.

Dalam worskhop tersebut, ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan. Diantaranya, di tingkat PUK, ada pelatihan, terutama tenang Konvensi ILO 176, meningkatkan kualitas PKB, dan juga diperlukan manual untuk mengenali isu K3 di Tambang. Ada semacam mapping terkait isu K3 di tempat kerja, dan perbandingan antara UU dan apa yang di lapangan.

Sementara itu, di tingkat federasi, diperlukan pelatihan bagi Pimpinan Cabang untuk mengadakan pemetaan serikat pekerja di sektor tambang dan masalah di tempat kerja tambang. Para peserta juga mengingingkan kampanye yang terstruktur mengenai isu K3 di tambang.

Juga diperlukan konsensus bersama terkait kampanye untuk pelaksanaan K3 tambang di Indonesia merativijasi Konvensus.

Satu hal yang penting, disepakati untuk membentuk sebuah aliansi benarma HIBUTA. Ini adalah singkatan dari Hidup Buruh Tambang.

Workshop dan Dialog Sosial

Tidak hanya itu, pertemuan lanjutan dilakukan pada tanggal 30-31 Agustus 2017 di Jakarta. Pertemuan dihadiri 4 federasi tambang, ditambah SPN yang ikut bergabung.

Dalam kesempatan itu, hadir perwakilan serikat pekerja sektor tambang dan 2 (dua) pembicara dari luar negeri. Mereka adalah Martin Hahn (ILO Sector Specialist on Maining) dan Brian Kohler (IndustriALL Director for Healt, Safety & Sustainability).

Pertemuan ini menghasilkan resolusi yang intinya sepakat untuk meningkatkan keselamatan, kesehatan kerja di sektor Pertambangan dan mengusulkan secara bersama-sama kepada Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO nomor 176 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Pertambangan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sektor pertambangan.

Baca artikel lain tentang K3 Pertambangan:

Artikel 1: Memetakan Serikat Pekerja dan Asosiasi Pengusaha di Industri Tambang

Artikel 2: “Kami Tidak Akan Berhenti dan Menunggu untuk Mengirimkan Lagi Ucapan Duka Cita”

Artikel 3: Jalan Panjang Menuju Ratifikasi Konvensi ILO 176

Artikel 4: Keselamatan Pekerja Tambang: Diantara Tarik Ulur Kementerian ESDM dan Ketenagakerjaan

Artikel 5: Negara-negara yang Sudah Meratifikasi Konvensi ILO 176

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *