Derita Buruh Celukan Bawang, Dari Karyawan Tetap ke Karyawan Kontrak

Bali,KPonline – Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Indonesia, Serbuk PLTU Celukan Bawang, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali mengungkapkan bahwa perusahaan di PLTU Celukan Bawang telah melakukan praktik perburuhan yang tidak sehat terhadap 254 pekerja di bawah naungan PT Victory Utama Karya (VUK). Hal ini terjadi akibat berakhirnya kontrak kerja antara PT China Huadian Corporation (CHD) dan PT General Energi Bali (GEB), selaku perusahaan induk PLTU Celukan Bawang.

Masalah ini muncul setelah PT GEB memerintahkan seluruh pekerja PT Victory yang berada di bawah naungan PT CHD untuk membuat surat pengunduran diri dan mengajukan lamaran baru ke PT Garda Arta Bumindo (GAB) dan PT Garda Satya Perkasa (GSP). Namun, langkah ini berdampak pada hilangnya pesangon pekerja yang diperkirakan mencapai Rp 12,4 miliar.

Bacaan Lainnya

Abdul Gopur, Koordinator Departemen Advokasi Federasi Serbuk Indonesia, mengungkapkan dalam konferensi pers yang digelar di Kantor LBH Bali pada 2 Oktober 2024, bahwa instruksi perusahaan tersebut diumumkan pada 12 September 2024. Pada 14 September, perusahaan kembali mengeluarkan pengumuman yang mewajibkan pekerja menyerahkan surat pengunduran diri dan melamar ulang.

Meskipun mayoritas pekerja telah mendaftar ulang, 32 pekerja masih menolak mengikuti instruksi ini. Menurut Gopur, hal ini disebabkan oleh syarat yang mengharuskan pekerja menandatangani surat pernyataan yang tidak adil. Pernyataan tersebut mencakup beberapa poin, termasuk pengakuan bahwa mereka mengundurkan diri atas kemauan sendiri, telah menerima seluruh hak mereka, dan berjanji tidak akan menggugat perusahaan secara hukum. Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk menjaga rahasia perusahaan.

“Masalahnya, saat pekerja diminta menandatangani surat pernyataan tersebut, tidak ada bukti pembayaran yang dilampirkan,” ujar Gopur. Dia menilai, ini merupakan taktik perusahaan untuk menyiasati pekerja agar seolah-olah telah menerima upah yang sebenarnya belum mereka terima.

Ignatius Rhadite dari LBH Bali, yang mendampingi para pekerja, merinci tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Pertama, perusahaan berusaha menghindari kewajiban membayar pesangon. Kedua, status pekerja yang semula karyawan tetap (PKWTT) diubah menjadi kontrak (PKWT), padahal pekerjaan yang mereka lakukan seharusnya dilakukan oleh karyawan tetap sesuai undang-undang. PLTU Celukan Bawang adalah perusahaan yang beroperasi jangka panjang, sehingga pekerja semestinya memiliki status tetap, bukan kontrak.

Ketiga, Rhadite menyebut adanya upaya union busting atau pemberangusan serikat pekerja. Pasal 10 ayat (7) dalam perjanjian kontrak baru melarang pekerja untuk bergabung atau terlibat dalam serikat pekerja, yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menjamin kebebasan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. (Ete)

Pos terkait