BAB 2
Pertanyaan itu terus mengganggu pikiranku sepanjang perjalanan ke pabrik. Motor tuaku melaju pelan di antara embun pagi, melewati deretan kios yang belum buka dan buruh-buruh lain yang sama lelahnya denganku. Kami semua seperti bergerak dalam irama yang sama: bangun, bekerja, pulang, tidur—lalu ulangi.
Pabrik tempatku bekerja berdiri megah di ujung jalan industri. Dindingnya abu-abu, tanpa jendela, dengan suara mesin yang sudah terdengar bahkan sebelum aku membuka pintu masuk.
Di sini, waktu bukan sesuatu yang berjalan, tapi sesuatu yang dikejar. Detik-detik terasa seperti lembaran kain yang harus dijahit cepat-cepat sebelum bos datang mengecek hasil kerja.
Namaku ada di daftar shift pagi hari itu. Aku duduk di bangku jahit nomor 12, seperti biasa. Di sebelahku ada Bu Lilis yang sudah bekerja di pabrik ini lebih dari dua dekade. Rambutnya mulai memutih, tapi tangannya masih lincah seperti gadis dua puluh tahun. Dia yang sering memberiku semangat ketika mataku mulai kabur karena menjahit terlalu lama.
“Rin, kamu kelihatan pucat. Kurang tidur, ya?” bisiknya sambil mengatur benang di mesinnya.
Aku hanya tersenyum. “Anak lagi rewel. Lagi suka nempel terus sama aku.”
Bu Lilis tersenyum tipis. “Nikmatin selagi masih bisa, ya. Anakku dulu juga gitu. Sekarang udah kuliah, malah jarang pulang.”
Aku mengangguk. Tapi di dalam hati, aku tahu… yang kucemaskan bukan soal Adit tumbuh dan pergi. Tapi kalau dia tumbuh… tanpa aku ada di sisinya.
Bel kerja berbunyi. Mesin-mesin mulai menyala bersamaan, seperti orkestra logam yang tak pernah berhenti. Suaranya memekakkan telinga, tapi kami semua sudah terbiasa. Tangan kami bergerak otomatis, kepala menunduk, dan mata fokus pada garis jahitan. Tidak ada waktu untuk mengeluh, tidak ada ruang untuk salah.
Pukul sepuluh pagi, Pak Beni, mandor kami, datang membawa lembar instruksi baru.
“Ada revisi desain, target produksi naik dua puluh persen minggu ini,” katanya tanpa ekspresi. “Kerja lebih cepat, tapi tetap rapi. Nanti ada insentif lembur tambahan.”
Lembur. Lagi.
Beberapa teman tampak kecewa, tapi tidak ada yang protes. Kami tahu, suara kami terlalu kecil untuk mengubah apapun. Lembur bukan pilihan di sini. Lembur adalah perintah yang dibungkus dengan iming-iming uang tambahan.
Aku menarik napas dalam. Di kepalaku, suara Adit terngiang kembali: “Bunda, jangan pulang malam lagi ya…”
Aku ingin menolak. Ingin berkata aku tak sanggup. Tapi tanganku tetap bergerak di atas mesin. Seolah tubuhku sudah diprogram untuk tunduk pada kebutuhan.
Waktu istirahat siang pun aku habiskan dengan duduk diam di pojok ruang makan, menatap bekal nasi yang sudah mulai dingin. Bu Lilis duduk di sebelahku sambil menyuap pelan.
“Kamu tahu, Rin,” katanya pelan, “kadang kita ini kayak benang, terus ditarik, dipaksa kuat, sampai akhirnya putus sendiri.”
Aku menunduk. Dadaku sesak. Mungkin aku memang sudah terlalu lama ditarik.
Tapi benang yang putus masih bisa diikat kembali. Masalahnya, kalau benang itu terlalu sering dipaksakan, kain yang dijahit bisa robek semua.
Dan aku takut… kain itu adalah hidupku.
Atau lebih buruk lagi, hidup anakku.
****
Hari itu aku pulang lebih malam dari biasanya. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 21.37 saat aku membuka pintu rumah. Semua lampu sudah padam, kecuali satu di kamar Adit. Jantungku berdebar aneh—antara lelah dan rasa bersalah yang terus menumpuk.
Aku membuka pintu kamarnya perlahan. Adit tertidur di atas buku gambarnya, masih mengenakan seragam sekolah. Botol susu yang pagi tadi kuisi ulang sudah kosong. Di sebelahnya ada bungkusan nasi yang sepertinya belum disentuh.
Hatiku mencelos. “Adit belum makan?”
Aku berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Kupeluk tubuh kecilnya yang mulai hangat. Ia menggumam pelan, tapi tidak bangun. Matanya terlihat sedikit sembab, seolah tadi ia menangis sebelum tertidur.
Di meja kecilnya, aku menemukan selembar kertas dengan gambar baru. Kali ini bukan gambar taman atau es krim. Tapi gambar seorang ibu bekerja di pabrik besar, dengan anak kecil yang menunggu di jendela rumah sambil memegang jam.
Di pojok kertas itu, Adit menulis dengan huruf besar-besar:
“AKU KANGEN BUNDA.”
Aku tak kuat. Air mata itu akhirnya jatuh juga. Untuk pertama kalinya, aku merasa gagal menjadi ibu.
Besoknya, saat aku bersiap-siap berangkat kerja, Adit demam. Tubuhnya panas, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat.
“Bunda hari ini enggak usah kerja ya…” katanya lirih sambil menarik ujung bajuku.
Aku bingung. Aku tahu pabrik sedang butuh tenaga. Target produksi meningkat dan lembur hampir jadi kewajiban tak tertulis. Tapi Adit… anakku… sedang sakit.
Aku telepon Bu Lilis diam-diam dan bilang aku izin setengah hari. Tapi suara di ujung telepon bukan Bu Lilis. Suara itu dingin dan tegas.
“Ini Pak Beni. Kalau kamu tidak masuk hari ini, upah lembur kamu minggu ini hangus. Dan nanti kami pertimbangkan juga rotasimu minggu depan.”
Aku terdiam. Dunia seperti berhenti sejenak.
Hangus? Hanya karena aku ingin menjaga anakku yang sakit?
“Pak, anak saya—”
“Maaf Bu Rina. Atur sendiri ya. Tapi target tetap harus dikejar.”
Klik.
Telepon ditutup begitu saja.
Aku menatap Adit yang masih terbaring lemah. Napasnya berat. Matanya mulai menutup lagi karena lelah. Aku tahu aku harus memilih. Tapi memilih antara gaji dan anak sendiri… rasanya seperti disuruh memotong bagian dari diriku sendiri.
Dengan tangan gemetar, aku mengelus rambut Adit. Lalu aku ambil jaket kerjaku dan berdiri.
“Maaf ya, Nak. Bunda janji cepat pulang. Nanti Bunda belikan roti kesukaan Adit.”
Aku pamit dengan perasaan teriris.
Saat pintu tertutup di belakangku, aku merasa seperti telah mengkhianati anakku sendiri. Tapi dalam pikiranku hanya ada satu kalimat: “Kalau aku enggak kerja, gimana aku bisa bawa dia ke dokter?”
Yang tidak aku tahu… hari itu adalah titik awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupku untuk selamanya.
—————