Batam, KPonline – Jagat twitter pagi ini kembali menghangat. Adalah praktisi pendidikan Setyono Djuandi Darmono yang pada bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7) mengatakan bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata mantan caleg PSI ini
Tanpa disadari, lanjutnya, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.
Sebagai gantinya, mapel budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.
“Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama,” tegasnya.
Kalau agama yang dijadikan identitas, lanjut Darmono, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.
Saya sepenuhnya tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena sejatinya pendidikan seharusnya mengutamakan pembentukan karakter sesuai dengan nilai-nilai agama agar siswa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya. Dan jelas pendidikan agama menjadi sangat penting keberadaannya demi mencapai tujuan tersebut
Jangan karena demi suatu gagasan jadi melupakan banyak hal yang tidak dapat diabaikan. Kita tahu bahwa sistem setiap lembaga pendidikan tidaklah sama, dengan kata lain bisa saja berbeda antara yang diajarkan di lembaga agama dengan di sekolah dalam keseharian.
Apalagi, sampai saat ini gagasan yang sudah ada dan berjalan bukan tidak baik, efisien, dan efektif, melainkan tidak dilaksanakan secara serius. Pemerintah hanya memberikan perintah tanpa memperhatikan tantangan yang dihadapi guru dan sekolah.
Sekolah dan guru pun sama, hanya mengajarkan materi yang diperintahkan tanpa memperhatikan tantangan yang harus dihadapi oleh siswanya. Pada akhirnya yang penting hanya program dilaksanakan sesuai perintah, soal hasil biarlah dinilai masing-masing.
Malah seharusnya jam pelajaran untuk pengajaran agama yang disediakan di sekolah perlu di tambah. Masalah inilah yang dianggap sebagai penyebab utama timbulnya kekurangan siswa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama.
Jika di perlukan kegiatan ekstra kurikuler tentang agama hendaknya juga di pertimbangkan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan, dengan penekanan utamanya pada pengalaman agama dalam kehidupan sehari-hari.
Terakhir, pelajaran agama adalah penting dan harus diberikan kepada semua siswa. Bahkan, keharusan belajar agama itu juga telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Oleh karena itu pelajaran agama wajib diberikan dan diikuti oleh semua siswa, sehingga seharusnya semua anak yang pernah sekolah mengerti tentang agamanya dan sekaligus seharusnya juga menjalankannya.