Bojonegoro, KPonline – Tangis haru mewarnai silaturahmi penuh kenangan di kediaman keluarga almarhum Chamim Tohari di Padangan, Bojonegoro. Dalam suasana yang begitu menyentuh hati, puluhan sahabat seperjuangan dan keluarga berkumpul untuk mengenang sosok yang telah begitu dalam memberi arti dalam perjalanan gerakan buruh, khususnya di tubuh FSPMI. Sab’tu, (24 Mei 2025).
Sekitar 60 orang anggota PUK SPL FSPMI PT Pakarti Riken Indonesia hadir, bersama para pengurus PC SPL FSPMI Kabupaten Sidoarjo. Mereka datang bukan sekadar untuk bersilaturahmi, tapi juga untuk mengenang dan menceritakan kembali bagaimana kedekatan mereka dengan Chamim Tohari – seorang pejuang yang dikenal lurus, bersahaja, dan penuh ketulusan.
“Dididik Seperti Anak Sendiri”
Narwoko, Ketua PUK SPL FSPMI PT Pakarti Riken Indonesia, mengungkapkan bagaimana dirinya dibimbing langsung oleh almarhum.
“Beliau mendidik saya seperti anak sendiri. Yang paling membekas, sehari sebelum beliau wafat, saya bermimpi mencium tangannya,” kisahnya dengan suara bergetar.
“Seakan itu menjadi perpisahan terakhir yang begitu dalam.”
Teguh Dalam Prinsip, Tak Goyah oleh Godaan
Heri Novianto, pengurus PC SPL FSPMI Kabupaten Sidoarjo, menjadi saksi keteguhan prinsip Chamim Tohari.
“Beliau tidak tergoda sogokan, bahkan ketika istrinya sendiri sedang kesulitan untuk membeli susu. Saat itulah saya sadar, integritas beliau bukan sekadar slogan—itu adalah jalan hidup,” ujarnya, menahan air mata.
Pejuang Organisasi Sepenuh Waktu
Dewanto mengenang betapa besar pengorbanan waktu dan tenaga yang diberikan almarhum.
“Hampir 24 jam hidupnya untuk organisasi. Rumah saya dulu seperti sekretariat tak resmi FSPMI, karena beliau terus di sana, mengurus ini itu, tanpa kenal lelah.”
Sosok yang Hidup untuk Orang Lain
Sutanto, orang yang pertama kali mengajak Chamim bergabung ke FSPMI, mengaku bangga sekaligus kehilangan.
“Beliau selalu memikirkan kesejahteraan bersama. Hidupnya bermanfaat sampai akhir hayat. Chamim bukan hanya kawan, dia pemimpin yang patut diteladani.”
Kehadiran yang Terasa Meski Telah Tiada
Acara yang awalnya berupa silaturahmi biasa, berubah menjadi momen penuh haru. Air mata mengalir dari setiap orang yang berbicara. Bahkan, suasana semakin menggetarkan hati ketika salah satu peserta menyatakan merasa kehadiran almarhum di tengah-tengah mereka.
“Saya melihatnya tersenyum, seolah bangga melihat kita semua berkumpul.”
Kenangan tentang Chamim Tohari bukan hanya soal perjuangan buruh atau pencapaian organisasi. Ia adalah kisah tentang ketulusan, kejujuran, dan kasih sayang dalam persahabatan. Hari itu, semua yang hadir seakan menyatu dalam perasaan yang sama: kehilangan sosok yang bukan hanya rekan, tapi panutan sejati.
Chamim Tohari mungkin telah tiada, tetapi nilai-nilainya hidup dalam setiap langkah perjuangan mereka yang ditinggalkannya. Dan di hati mereka, beliau akan selalu hadir—dengan senyum hangat dan semangat juangnya yang abadi.(Khoirul Anam, Foto oleh Jarwo)



