Sawit, Keringat, dan Air Mata, Ketika Keluarga Ikut Memikul Derita Perkebunan

Sawit, Keringat, dan Air Mata, Ketika Keluarga Ikut Memikul Derita Perkebunan
Derita Pekerja Perkebunan

Pelalawan, KPonline – Pagi belum benar-benar terang. Embun masih menggantung di ujung pelepah sawit. Di salah satu kebun milik perusahaan besar di Pelalawan, tampak seorang pria paruh baya tengah mengikat pelepah yang baru ditebas, dibantu seorang anak kecil yang menyeret janjang sawit ke tepi jalan produksi. Di belakangnya, sang istri memunguti brondolan sawit satu per satu, tak peduli duri atau lumpur yang menyelimutinya. Itulah potret keseharian Pak Rahman, buruh harian lepas, yang kini mengandalkan seluruh keluarganya untuk bisa memenuhi target panen.

Target yang ditetapkan mandor adalah 2 ton tandan buah segar (TBS) per hari. Bila tak tercapai, upah bisa terpotong drastis. Bila sakit atau absen, hari itu tidak dibayar. Maka, agar kebutuhan rumah tangga tetap terpenuhi, anak dan istri pun terpaksa turun ke kebun. Ironisnya, meski ikut bekerja dari pagi hingga siang, anak dan istri Pak Rahman tidak memiliki status kerja resmi. Mereka tak tercatat di absensi, tak mendapatkan upah, dan tentu tak dilindungi oleh jaminan sosial.

Bacaan Lainnya

Mandor tahu hal ini. Bahkan asisten kebun sering kali melihat sendiri anak-anak kecil ikut menarik janjang sawit dengan tali tambang atau membantu ibunya mengumpulkan brondolan. Tapi tak ada teguran, tak ada pelarangan. Meski mereka tidak pernah disuruh langsung, kehadiran anak dan istri dianggap sebagai ‘bantuan tambahan’ yang tak perlu dibayar. Ini adalah praktik yang dibungkam oleh budaya diam—sebuah kesepakatan sunyi antara sistem yang menekan dan mereka yang tak punya pilihan.

Di balik keberhasilan industri sawit yang sering dibanggakan dalam laporan tahunan atau pidato pemerintah, ada realitas buruh yang luput dari pemberitaan. Perempuan-perempuan yang seharusnya mengurus rumah, justru bergumul dengan semak dan duri sawit. Anak-anak yang seharusnya belajar dan bermain, dipaksa mengenal beban panen sejak usia dini. Inilah sisi lain industri sawit yang tak tampak di balik kemasan minyak goreng atau produk kecantikan.

Namun, dalam bayang-bayang kelelahan dan kemiskinan struktural, secercah harapan mulai muncul. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), yang selama ini dikenal kuat dalam memperjuangkan buruh industri, mulai melebarkan sayap ke sektor perkebunan. Mereka turun langsung ke kebun-kebun sawit, mengetuk pintu rumah-rumah buruh, dan mengajak mereka membentuk Pimpinan Unit Kerja (PUK) di tingkat perusahaan.

FSPMI sebagai salah satu organisasi buruh telah menabuh genderang perang terhadap ketidak adilan perusahaan terhadap pekerja, perjuangan di sektor perkebunan jauh lebih berat karena buruh sering kali merasa takut dan tidak percaya bahwa suara mereka bisa didengar.

“Buruh kebun sudah terlalu lama dianggap objek. Kita datang bukan hanya membawa formulir keanggotaan, tapi membawa kesadaran. Bahwa mereka punya hak untuk berserikat, untuk bicara, dan untuk menuntut perubahan”, ucapnya

Berbekal pendekatan yang sabar dan edukatif, FSPMI mulai membangun kesadaran kolektif. Mereka tidak hanya memperjuangkan upah layak dan status kerja tetap, tetapi juga menyoroti praktik-praktik eksploitatif seperti keterlibatan anak dan istri tanpa perlindungan hukum. Dalam beberapa kasus, FSPMI berhasil mendampingi buruh mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), menuntut hak normatif yang selama ini diabaikan.

Meski jalannya masih panjang dan penuh tekanan, kesadaran mulai tumbuh. Buruh-buruh kebun mulai berani bertanya: Apakah pantas anak-anak kami tumbuh dalam lumpur dan kelelahan? Apakah selamanya kami hanya jadi angka dalam laporan panen, tanpa dihitung sebagai manusia yang punya hak dan martabat?

Kini, di tengah kebun sawit yang masih basah oleh embun pagi, perjuangan terus berlanjut. Anak-anak kembali ke sekolah, para ibu kembali ke rumah, dan para buruh tak lagi sendiri dalam menghadapi sistem. Serikat telah menjadi pelindung, suara, dan harapan. Karena sawit bukan hanya soal produksi—tapi juga soal keadilan.

 

Penulis : Heri

Sumber, diambil dari kisah nyata

foto, dokumentasi MP Pelalawan

Pos terkait