Purwakarta, KPonline-Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai tahun depan, bersamaan dengan penerapan sembilan pungutan baru yang dinilai dapat semakin memberatkan masyarakat, terutama kelas pekerja. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan penerimaan negara, meskipun menuai kritik dari berbagai kalangan.
#Kenaikan PPN ke 12%
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan kelanjutan dari kebijakan fiskal yang sebelumnya sudah direncanakan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dengan kenaikan ini, harga barang dan jasa diperkirakan akan mengalami lonjakan, terutama di sektor konsumsi yang menyumbang sebagian besar kebutuhan masyarakat.
Sehingga dipastikan dari kenaikan ini akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Kenaikan PPN berarti harga barang kebutuhan pokok, layanan kesehatan, hingga pendidikan, yang sebelumnya bebas pajak atau mendapat tarif khusus, berpotensi menjadi lebih mahal.
#Sembilan Pungutan Baru
Selain kenaikan PPN, pemerintah juga akan memberlakukan sembilan pungutan baru yang menyasar berbagai sektor. Beberapa di antaranya adalah:
1. Pajak Lingkungan Hidup;
-Dikenakan untuk produk-produk yang dianggap mencemari lingkungan.
2. Pajak Karbon;
-Berlaku untuk industri yang menghasilkan emisi karbon tinggi.
3. Cukai Minuman Bergula;
-Menargetkan minuman manis yang kini semakin populer di kalangan anak muda.
4. Pungutan Digital;
-Pajak tambahan untuk layanan streaming dan aplikasi digital.
5. Cukai Plastik;
-Meningkatkan biaya penggunaan plastik sekali pakai.
6. Pajak Kemewahan Baru;
-Menyasar kendaraan listrik premium dan properti di atas harga tertentu.
7. Retribusi Transportasi Umum;
-Untuk mendukung perbaikan transportasi publik.
8. Pajak Parkir Progresif;
-Berlaku di kota-kota besar dengan tarif lebih tinggi untuk kendaraan pribadi.
9. Pungutan Jasa Keuangan;
-Biaya tambahan untuk layanan transfer dan administrasi perbankan.
#Protes dari Kelas Pekerja
Kebijakan ini memicu gelombang protes dari serikat pekerja dan masyarakat luas. Mereka menilai kebijakan ini tidak adil, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. “Pendapatan kami tidak naik, tapi biaya hidup terus melonjak. Bagaimana rakyat kecil bisa bertahan?” keluh Asep, seorang buruh pabrik di Purwakarta.
Sementara itu, pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini diperlukan untuk memperkuat anggaran negara demi mendanai berbagai proyek pembangunan dan program sosial. Dan memastikan bahwa dana yang terkumpul akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Solusi atau Beban Baru?
Meskipun kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara, pemerintah harus berhati-hati dalam mengelola dampaknya terhadap masyarakat. Transparansi dalam penggunaan anggaran menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik. Di sisi lain, ada seruan agar pemerintah mencari sumber pendapatan lain tanpa membebani kelas pekerja yang sudah tertekan oleh tingginya inflasi.
Kelas pekerja kini dihadapkan pada pilihan sulit: menekan pengeluaran atau mencari sumber pendapatan tambahan. Sementara itu, masyarakat berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan ini agar tidak memperburuk kesenjangan ekonomi.



