Pelalawan, KPonline – Keputusan kontroversial PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan pekerja kembali membuktikan bahwa kepentingan korporasi kerap mengabaikan nasib manusia. Dengan dalih efisiensi dan penilaian kinerja, perusahaan kertas raksasa yang dikenal sebagai salah satu produsen pulp dan kertas terbesar di Asia Tenggara itu kini tengah digugat publik atas kebijakan yang dianggap sepihak dan kejam.
Pantauan di lapangan oleh tim wartawan mengungkap fakta-fakta mencengangkan. PHK dilakukan tanpa sosialisasi memadai, parameter evaluasi kinerja yang tidak jelas, dan dugaan intervensi personal dalam proses seleksi karyawan yang dipertahankan dan diberhentikan. Ada indikasi kuat bahwa kedekatan dengan pimpinan menjadi salah satu alasan non-formal yang menentukan nasib pekerja.
“Alasan efisiensi itu klise. Faktanya, produksi jalan terus, bahkan beban kerja kami makin berat sebelum PHK dilakukan. Kalau efisiensi, kenapa yang dipecat justru mereka yang punya pengalaman dan kontribusi nyata?” ujar Adi, salah satu pekerja yang terkena PHK. Menurutnya, tidak ada proses dialog bipartit, apalagi tripartit, sebelum keputusan diambil. “Kami hanya dikumpulkan, disodori surat, dan disuruh angkat kaki.”
Adi juga menyoroti bahwa proses PHK tidak melalui mekanisme yang lazim menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Tak ada surat peringatan, tak ada evaluasi resmi yang disampaikan ke kami. Tiba-tiba kami dinilai ‘bad performa’. Ini penghinaan bagi kami yang sudah belasan tahun mengabdi,” katanya dengan nada geram.
Isu ini kini menjadi topik hangat di tengah masyarakat Pelalawan. Banyak keluarga kini dilanda ketidakpastian. Pekerja yang menjadi korban tidak hanya kehilangan sumber penghasilan, tapi juga harus menghadapi beban psikologis serta keterbatasan peluang kerja di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. Masyarakat Pelalawan pun turut mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap nasib buruh lokal.
Menyikapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riau, Satria Putra menyampaikan kecaman keras terhadap PT. RAPP. “Ini bentuk arogansi korporasi. Mereka menikmati keuntungan dari keringat buruh, tapi saat perusahaan mau ‘merampingkan’ anggaran, buruh jadi tumbal,” ujarnya tegas. Ia menambahkan bahwa Aliansi buruh akan membawa kasus ini ke ranah hukum dan tidak menutup kemungkinan akan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran.
“Pemerintah tidak boleh tutup mata. Ini bukan masalah internal perusahaan semata. Ini soal keadilan sosial dan perlindungan hak tenaga kerja. Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk bagi perusahaan lain,” tambahnya.
Presiden FSP2KI, H. Hamdani, SH juga mendesak Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau, Bupati Pelalawan, serta Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera mengusut tuntas proses PHK ini. Mereka juga meminta agar korban PHK diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi dan mendapatkan hak-hak normatif sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Di tengah geliat investasi yang sering dijadikan alasan untuk melemahkan perlindungan buruh, kasus PT. RAPP menjadi tamparan keras bagi wajah dunia industri nasional. Negara harus membuktikan keberpihakannya bukan hanya pada pemilik modal, tapi pada rakyat pekerja yang menjadi tulang punggung ekonomi negeri ini.
Penulis : Heri



