Pasien BPJS Kesehatan Meninggal Dunia, Jamkeswatch Tuding Lambatnya Proses Administrasi

Jakarta, KPonline – Dengan ditemukannya peserta BPJS kesehatan korban Lakalantas meninggal dunia di salah satu Rumah Sakit di Kota Bekasi menjadi sorotan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Jamkeswatch. Pasalnya peserta BPJS Kesehatan ini menghembuskan nafas terakhir saat pengurusan administrasi jaminannya di Rumah Sakit, Kamis (29/02/2024).

Menelisik perihal Filosofi jaminan sosial adalah mencegah resiko sosial ekonomi yang terjadi pada peserta atau warganegara, begitu juga dalam jaminan kesehatan.

Dalam hal ini BPJS Kesehatan seharusnya berpandangan lurus ke depan, sistem yang dibuat bukan dimaksudkan untuk menjebak peserta atau warganegara dalam belitan birokrasi serta administrasinya.

Berikut perihal Jasa Raharja adalah santunan, bukan sebuah jaminan sebab tidak memiliki peserta dan tidak berbasiskan iuran hanya sumbangan sukarela saja.

Saat dikonfirmasi Koran Perdjoeangan, Direktur Eksekutif DPN Jamkeswatch Daryus menuturkan bahwa ada dugaan lambannya koordinasi antara Rumah Sakit, Jasa Raharja, dan BPJS Kesehatan.

“Menyikapi kasus meninggalnya pasien atas nama Fauzi Kamil korban lakalantas pihak RS, dan kedua instansi yaitu Jasa Raharja, dan BPJS Kesehatan sebagai layanan publik harus bertanggung jawab atas meninggalnya korban tersebut. Kurangnya koordinasi antar kedua instansi dengan pihak RS terkait administrasi dan penjaminan yang menyebabkan hilangnya nyawa,” tutur Daryus.

Daryus menilai, Jasa Raharja Kota Bekasi terkesan tidak percaya dengan Surat LP Kepolisian yang dikeluarkan, hingga akhirnya akan melakukan olah TKP bersama antara pihak JR dengan pihak kepolisian.

“Kami tidak akan membiarkan dan merelakan dalam hal ini BPJS Kesehatan menjadi komersil dan tidak berpegang teguh pada filosofi dasarnya. Pihak RS pun mesti bertanggung jawab karena tidak sesuai semangat tindakan menyelamatkan nyawa atau tindakan “live saving”. Yang sangat disayangakan pihak RS malah meminta uang Deposit kepada keluarga pasien agar pasien ini cepat tertangani,” ujarnya dengan nada kecewa.

Senada disampaikan oleh Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran DPN Jamkeswatch Ipang Sugiasmoro, dengan adanya kejadian ini jelas beberapa instansi terkesan “Delay” dalam berkoordinasi, hingga kepastian jaminan itu diberikaan saat peserta sudah meninggal dunia.

“Jika sistem SEP sudah terkunci 3×24 jam maka apabila sudah “Deadline” mau tidak mau, rela tidak rela peserta BPJS Kesehatan harus dipastikan penjaminan layanan kesehatannya. Lalu jika penjamin atau pemberi santunan lain masuk, baru tinggal memotong biaya sesuai plafon yang disediakan saja. Ini malah saling menunggu dan menarik ulur penjaminan karena alasan administrasi yang notabene bukan karena kesalahan peserta itu sendiri,” tegas Ipang.

“Kalau frasa penjamin kedua pun tidak seharusnya ditempatkan pada situasi dan kondisi yang memang membutuhkan urgensi terhadap pesertanya,” tambahnya.

Jamkeswatch menilai, pasien yang terdaftar sebagai peserta JKN/KIS ini cuma hanya karena birokrasi dan administrasi harus kehilangan haknya, bahkan meregang nyawa. Bukan sekedar hilangnya satu peserta dan satu rupiah iuran, tetapi BPJS Kesehatan telah kehilangan orientasi dan merusak citranya sendiri sebagai penjamin layanan kesehatan atau jaring pengaman sosial. (Jhole)