Paradoks Politik: Mengapa Orang-orang Baik Dihukum dalam Pemilihan Umum?

Oleh: Kahar S. Cahyono*

Bukan hanya mereka yang “menyuap rakyat” yang harus dipersalahkan. Tetapi rakyat yang menjatuhkan pilihannya karena suap juga harus dipertanyakan.

Saya kira, kita memang harus marah kepada para perusak demokrasi. Di mana suara rakyat dapat “dibeli”, atau lebih tepatnya, ada sebagian dari mereka yang dengan sengaja “menjajakan dirinya sendiri untuk dibeli” oleh para politisi bermental korup.

Dunia ini penuh dengan ironi.

Ironi yang terasa begitu dalam, hingga kadang-kadang sulit untuk memahaminya. Orang-orang baik yang selama bertahun-tahun gigih mengadvokasi dan membela rakyat yang terpinggirkan, malah dihukum dalam pemilihan umum. Mereka yang merangkul yang tergusur, yang kehilangan pekerjaan, yang kesulitan mendapatkan benih dan pupuk, yang membantu saat kesulitan mendapat layanan kesehatan atau pendidikan, tiba-tiba harus menelan pil pahit ketidakdipercayaan. Semua ini hanya karena mereka tidak mampu menyediakan amplop.

Ironis, bukan? Di negeri yang seharusnya memuliakan kejujuran dan kebaikan, namun malah sering kali melihat kelemahan.

Orang-orang yang terang-terangan menggunakan uang untuk memperoleh kekuasaan, yang terlibat dalam praktik money politics, dengan entengnya dipilih. Padahal, rekam jejak mereka terhadap kesejahteraan rakyat hampir nihil.

Seolah-olah, dalam sistem politik yang terbalik ini, kebaikan dianggap sebagai kelemahan, sementara kecurangan dianggap sebagai strategi yang cerdik. Dan celakanya, sebagian dari kita mengamini. Seolah-olah itu menjadi realitas yang lumrah. Kalau mau menang, memang harus begitu, bagi-bagi uang.

Mari kita lihat lebih dalam lagi.

Pertama-tama, mari kita kenali para pelaku utama dalam anomali ini: para pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka adalah orang-orang biasa yang dengan penuh dedikasi dan tanpa pamrih, berjuang untuk kebaikan bersama. Mereka adalah aktivis buruh, petani, nelayan, penggiat lingkungan, pemimpin organisasi rakyat, atau bahkan individu biasa yang memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib sesama.

Mereka adalah sosok yang dengan gigih membangun jaringan solidaritas, menyuarakan keadilan, dan membantu yang kurang beruntung. Mereka hadir ketika rakyat terpinggirkan, ketika suara mereka terpinggirkan, ketika hak-hak mereka diinjak-injak. Mereka adalah tiang moral dalam masyarakat, memberikan harapan dan menguatkan bagi yang lemah.

Namun, ironi datang ketika saat pemilihan umum tiba, suara mereka justru diabaikan. Bukan karena gagasan atau program kerja yang mereka usung tidak bermutu, tetapi karena ketiadaan amplop yang mereka bawa. Amplop yang seolah menjadi tiket masuk ke dalam dunia politik.

Kedua, mari kita perhatikan fenomena politik yang menerima keuntungan dari ketidakadilan ini: para politisi yang menggunakan uang sebagai senjata utama mereka. Mereka adalah figur-figur yang dengan lincah memanfaatkan kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan, tanpa mempedulikan akibatnya bagi rakyat.

Mereka adalah pelaku money politics yang dengan liciknya menyuap, membeli suara, dan menggunakan segala cara untuk memastikan kemenangan mereka. Mereka adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan, namun malah menjadi contoh buruk bagi generasi mendatang.

Ironisnya, meskipun rekam jejak mereka penuh dengan kontroversi dan skandal korupsi, mereka masih saja menerima dukungan dan suara dalam pemilihan umum. Dalam dunia yang serba terbalik ini, tampaknya kejujuran dan integritas bukanlah kriteria utama dalam menentukan pemimpin.

Melihat fenomena ini, penting bagi kita untuk mengkritisi masyarakat yang terlalu mudah terpengaruh oleh rayuan politik berbasis uang. Masyarakat seringkali lupa akan kontribusi dan pengorbanan mereka yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri untuk kepentingan bersama. Mereka lupa bahwa pemilihan umum seharusnya bukanlah ajang jual beli suara, tetapi momentum untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat.

Masyarakat yang memilih berdasarkan amplop, tanpa memperdulikan integritas dan track record kandidat, adalah masyarakat yang terjebak dalam belenggu kepentingan pribadi. Mereka lupa bahwa kebijaksanaan jangka panjang jauh lebih berharga daripada kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh politisi korup.

Sungguh ironis, mereka yang menghabiskan waktu, tenaga, dan bahkan risiko nyawa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, masyarakat justru lebih memilih untuk terlena oleh rayuan uang. Mereka lupa bahwa di balik setiap janji manis yang dibungkus dengan uang, terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat.

Kritik ini untuk mengingatkan kita semua akan tanggung jawab kolektif dalam membangun demokrasi yang sehat dan berkeadilan. Kita semua memiliki peran penting dalam menentukan arah politik negara ini, dan kita tidak boleh mengabaikan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan dalam setiap pilihan yang kita buat.

Bukan hanya mereka yang “menyuap rakyat” yang harus kita persalahkan. Tetapi rakyat yang menjatuhkan pilihannya karena “suap” juga harus kita pertanyakan.

Saya kira, kita memang harus marah kepada para perusak demokrasi. Di mana suara rakyat dapat “dibeli”, atau lebih tepatnya, ada sebagian dari mereka yang memang “menjajakan dirinya sendiri untuk dibeli” oleh para politisi bermental korup. Fenomena ini tidak hanya merugikan proses demokrasi yang sehat, tetapi juga mengurangi integritas dan martabat masyarakat.

Para politisi yang menggunakan praktik ini mengeksploitasi kebutuhan dan kesulitan ekonomi rakyat untuk mendapatkan keuntungan politik. Mereka menawarkan uang atau barang lain sebagai imbalan untuk mendapatkan suara, tanpa memperhatikan kualitas atau integritas calon yang mereka dukung. Dalam proses ini, mereka merendahkan martabat rakyat dan merusak esensi dari demokrasi yang seharusnya memberikan suara kepada calon berdasarkan kualitas, program, dan komitmen mereka untuk melayani rakyat.

Dia yang menerima suap juga harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Meskipun mereka mungkin melakukannya karena kesulitan ekonomi atau tekanan sosial, menerima suap adalah tindakan yang merugikan masyarakat secara keseluruhan. Ini memberikan keuntungan tidak adil bagi calon yang tidak memiliki kualitas atau integritas yang dibutuhkan untuk memimpin dengan baik.

Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan di tengah anomali ini? Pertama-tama, kita perlu membangun kesadaran akan pentingnya memilih wakil rakyat berdasarkan integritas dan kompetensi, bukan sekadar janji manis atau materi. Kita perlu memilih pemimpin yang benar-benar peduli dan berkomitmen untuk melayani, bukan mereka yang sekadar memperkaya diri sendiri.

Kedua, kita perlu mengambil peran aktif dalam membangun sistem politik yang lebih transparan dan akuntabel. Kita perlu menolak praktik money politics dan memperjuangkan reformasi politik yang memastikan partisipasi yang adil bagi semua pihak.

Terakhir, kita tidak boleh melupakan peran penting solidaritas dan dukungan kolektif dalam menghadapi anomali politik seperti ini. Kita perlu bersatu sebagai satu kesatuan, melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, dan memperjuangkan keadilan bagi semua.

Dalam dunia yang penuh dengan ironi ini, mari kita tetap teguh pada nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Kita tidak boleh menyerah pada kecenderungan yang salah, tetapi terus berjuang untuk menciptakan dunia yang lebih baik, di mana kebaikan dan keadilan benar-benar menjadi landasan utama dalam setiap tindakan dan keputusan politik.

*Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, KSPI, dan Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh