Outsourcing: Efisiensi yang Menjadi Perbudakan Modern

Outsourcing: Efisiensi yang Menjadi Perbudakan Modern

Di atas kertas, outsourcing selalu dipromosikan sebagai strategi efisiensi. Perusahaan disebut bisa lebih fokus pada bisnis inti, biaya produksi ditekan, dan fleksibilitas tenaga kerja meningkat. Tetapi di balik narasi indah itu, ada realitas pahit yang dialami jutaan buruh di Indonesia: ketidakpastian kerja, upah rendah, dan status yang tidak pernah jelas. Outsourcing, yang awalnya dimaksudkan untuk pekerjaan penunjang seperti kebersihan atau keamanan, kini telah merangsek masuk ke inti produksi. Buruh yang mestinya dilindungi malah diperlakukan bak pion catur yang bisa digeser sesuka hati.

Sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diberlakukan, outsourcing sebenarnya sudah menjadi kontroversi. Aturan itu memberi celah terbatas, namun praktik di lapangan justru melampaui batas. Banyak perusahaan dengan enteng menggunakan pekerja outsourcing untuk pekerjaan inti, dengan alasan lebih murah dan mudah diganti. Alih-alih menindak, pemerintah seolah membiarkan, bahkan kemudian memperlonggar aturan lewat Undang-Undang Cipta Kerja. Omnibus Law ini menjadikan outsourcing bisa diterapkan hampir di semua lini, tanpa lagi membedakan mana yang penunjang dan mana yang esensial.

Bacaan Lainnya

Dampaknya jelas: buruh outsourcing kehilangan hak-hak fundamental. Mereka bekerja bertahun-tahun tetapi masa kerja mereka tidak pernah diakui. Ketika perusahaan mengganti vendor outsourcing, kontrak lama dianggap tidak berlaku. Buruh harus menandatangani kontrak baru, memulai dari nol, seolah-olah pengabdian bertahun-tahun itu lenyap begitu saja. Tidak ada pesangon, tidak ada kepastian karier, tidak ada pengakuan. Ironisnya, buruh outsourcing sering memikul beban kerja yang sama beratnya dengan karyawan tetap, bahkan terkadang lebih, namun upah dan fasilitas yang diterima jauh lebih kecil.

Kondisi ini melahirkan jurang ketidakadilan yang semakin lebar. Di satu sisi, perusahaan bisa terus mengeruk keuntungan dengan menekan biaya tenaga kerja. Di sisi lain, buruh outsourcing hidup dari kontrak ke kontrak, tanpa kepastian apakah besok mereka masih bisa bekerja. Status mereka selalu menggantung, tidak ada rasa aman, tidak ada kesempatan mengembangkan karier. Bagaimana mungkin buruh bisa produktif jika setiap saat dihantui kecemasan dipecat secara sepihak?

Outsourcing bukan sekadar urusan kontrak kerja, melainkan soal martabat manusia. Buruh bukan mesin yang bisa diganti sesuka hati. Mereka punya keluarga yang harus diberi makan, punya masa depan yang layak diperjuangkan. Ketika regulasi membiarkan outsourcing berlangsung tanpa batas, negara sesungguhnya sedang melegitimasi bentuk baru dari perbudakan modern. Buruh outsourcing dijadikan “tenaga sekali pakai”: diperas tenaganya, dibuang begitu tidak lagi diperlukan.

Kritik terhadap outsourcing seharusnya dipandang bukan sebagai sikap anti-pasar atau anti-investasi. Justru sebaliknya, sistem kerja yang adil akan menciptakan stabilitas dan loyalitas, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas. Perusahaan yang hanya peduli pada efisiensi biaya jangka pendek justru sedang menggali lubang sendiri. Tanpa tenaga kerja yang sejahtera, tidak ada keberlanjutan. Tanpa kepastian kerja, tidak ada loyalitas. Dan tanpa keadilan, yang lahir hanyalah ketidakpuasan dan potensi konflik sosial.

Karena itu, regulasi terkait outsourcing harus direvisi dengan serius. Pemerintah harus berani menarik kembali pembatasan jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing-kan. Masa kerja buruh outsourcing yang berkesinambungan harus diakui secara hukum, tidak boleh terhapus hanya karena pergantian vendor. Upah dan hak-hak normatif seperti THR, jaminan kesehatan, hingga pesangon harus dipastikan setara dengan karyawan tetap yang mengerjakan pekerjaan serupa.

Negara tidak boleh hanya berpihak pada logika investasi, tetapi harus menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Buruh bukan angka di neraca perusahaan, melainkan manusia yang layak diperlakukan dengan martabat. Jika regulasi outsourcing tetap dibiarkan longgar seperti sekarang, maka yang kita bangun bukanlah perekonomian yang sehat, melainkan mesin besar yang berjalan di atas penderitaan jutaan buruh.

Pada akhirnya, outsourcing di Indonesia bukan sekadar persoalan hubungan industrial, melainkan cermin dari keberpihakan negara. Pertanyaannya: apakah pemerintah ingin menciptakan ekosistem kerja yang adil dan berkelanjutan, atau terus membiarkan praktik perbudakan modern ini bersembunyi di balik nama efisiensi?

Pos terkait