Bogor, KPonline – Istriku mengeluh tentang naiknya harga-harga kebutuhan bahan pokok.
Tidak hanya itu, istriku juga mengeluh tentang naiknya tagihan listrik tiap bulannya.
Barusan, di dapur kulihat istriku menggoreng tempe sambil mengeluh tentang naiknya harga-harga kebutuhan bahan pokok. Tagihan air PDAM yang tinggi. Juga tentang buruknya kualitas air dan seringkali tidak mengalir di jam-jam sibuk.
Tidak hanya istriku yang mengeluh soal ini. Tetangga, saudara jauh, sepupu hingga kawan-kawan buruh di tempatku bekerja mengeluhkan hal yang sama.
Ach, kenapa mereka semua hanya mengeluh. Tanpa mau menyuarakannya, hingga menggetarkan dan memerahkan telinga penguasa. Mengubah keluhan itu menjadi api perlawanan?
Di negeri ini hampir segala sesuatunya mahal, kecuali harga diri dan nyawa. Lihat saja. Di media belakangan ini marak video wanita telanjang, tidak menggunakan busana berbelanja disebuah apotek di kota besar. Belum lagi nyawa korban-korban “anak-anak bocah gangster” yang melayang dan begitu pula dipihak yang sebaliknya.
Sambil mengenakan seragam PDL Garda Metal-ku bergumam dalam hati. “Negeri ini sepertinya akan segera terjadi revolusi.”
Ketika keluar kamar, istriku menyergahku.
“Demo kemana lagi, Yah?” Katanya.
“Ke Istana Presiden. Mau mengeluh juga seperti kamu.”
Diraihnya tangan kananku dan dikecup punggungnya. Kukecup dahinya yang agak sedikit berkeringat karena sedang memasak. Kukatakan dengan pelan. “Besok-besok kalau hanya mengeluh, segala urusan tidak akan selesai. Yuk ikut ayah demontrasi. Mendesak presiden turunkan harga.”
“Demo apalagi sih?” Tanyanya dengan mimik serius.
“Demo menolak kenaikan tarif dasar listrik,” jawabku dengan ketus.
“Owh,” hanya itu reaksinya.
Reaksi yang sama ketika kuajak beberapa orang tetangga untuk ikut demo menolak kenaikan tarif dasar listrik beberapa waktu yang lalu.
Kukira, negeri ini menjadi negerinya para pengeluh. Tanpa mau berbuat sesuatu. Apalagi berlawan.
Penulis: Rinto Dwi Wahana