Menolak Ahok

Jpeg

Jakarta, KPonline – Mulai banyak masyarakat yang sadar dan tidak lagi bersedia memilih pemimpin yang pandai dalam retorika dan cerita, tetapi sesungguhnya tidak berpihak kepada rakyat. Terlebih lagi, saat ini orientasi utama pembangunan di Jakarta dirasa hanya diperuntukkan bagi pemilik modal — orang-orang kaya. Jika pun ada yang diberikan kepada rakyat, itu hanya remeh-temeh. Semacam gula-gula.

Hal ini disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal saat memberikan keterangan pers di sela-sela seminar Jakarta Menolak Reklamasi.

Bacaan Lainnya

Iqbal berpendapat, selama Ahok memimpin DKI Jakarta, hukum telah dibarter oleh pemilik modal. Kalau kita negara hukum, mestinya hukum adalah segala-galanya, dimana inti dari hukum adalah keadilan. Dengan demikian, keadilan tidak bisa dibarter. Tetapi dimasa kepemimpinan Ahok, hukum dibuat bukan untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk melayani kepentingan pemilik modal. Kuat dugaan berdasarkan pesanan. Reklamasi dan penggusuran adalah contoh kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Kebijakan seperti itu merugikan rakyat kecil. Terbukti, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Jakarta mengalami kenaikan 0,14 poin. Pada bulan September 2015 jumlah orang miskin mencapai 368.670 orang atau 3,61 persen dari total jumlah penduduk di DKI Jakarta, dan pada bulan Maret 2016, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 384.300 orang atau 3,75 persen. Ini artinya, jumlah orang miskin di DKI Jakarta meningkat sebesar 15.630 orang.

Selain orang miskin bertambah, gini rasio di DKI Jakarta juga sangat tinggi, mencapai 0,46. Gini rasio adalah mengukur pendapatan terendah dan tertinggi. Semakin tinggi, maka jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Padahal, gini ratio di DKI Jakarta lebih tinggai dari gini ratio nasional yang hanya 0,41.

Datanya cukup mencengangkan. Sebanyak 20 persen orang kaya yang mengalami peningkatan pendapatan yang drastis, sedangkan 80 persen penduduk menengah dan bawah justru mengalami penurunan. Sebanyak 20 persen orang kaya naik dari 49,79 poin pada 2014 menjadi 56,20 pada 2015. Sementara itu, 40 persen masyarakat menengah mengalami penurunan pendapatan dari 14,66 ke 14,11, dan 40 persen masyarakat bawah juga mengalami penurunan pendapatan dari 35,55 ke 29,70. Si kaya makin kaya, si miskin makin miskin.

Dua data resmi yang dikeluarkan BPS DKI Jakarta ini menjadi ukuran, mengapa kemudian buruh menyebut Ahok gagal. Jadi ini bukan data dari buruh. Bukan juga sentimen pribadi. Tetapi berdasarkan data yang ada.

Pada sisi yang lain, reklamasi menjelaskan bahwa Jakarta sudah menjadi surga bagi orang kaya. Karena yang bisa menempati “pulau palsu” itu hanyalah orang-orang kaya yang sebagian besar dari Tiongkok. Mereka yang digusur, nyaris tidak mungkin tinggal di lahan reklamasi.

“Sekali lagi, itulah mengapa menolak Ahok. Selain ada masalah dalam lingkungan hidup, nelayan yang tersingkirkan, yang paling penting ada persoalan kesenjangan pendapatan,” tegas Iqbal.

Selain reklamasi, kata Iqbal, buruh juga melawan penggusuran. Dia prihatin melihat rakyat digusur untuk membuat jalan, perumahan, dan pembangun gedung-gedung yang kesemuanya itu diperuntukkan bagi pemodal.

Setelah digusur, masyarakat ditaruh di rusun. Tetapi kemudian tanah yang tadinya ditempati dibangun untuk orang-orang kaya. Ini tidak adil dan menyakiti masyarakat kecil.

Ada pepatah, jangan kasih ikan. Kasih kailnya. Sementara kita lihat, kapangan kerja di Jakarta tidak tumbuh. Pabrik tutup. Perdagangan amblas. Nyaris tidak ada kesejahteraan.

Dulu buruh juga bingung. Mengapa upah mínimum di DKI Jakarta lebih rendah dari Karawang dan Bekasi. Padahal, dulu, mau gubernurnya pelanggar HAM atau anti demorkasai, upah DKI Jakarta tidak lebih rendah dari Bekasi dan Karawang. Barangkali karena ada yang membisikkan, “Ahok kamu jangan kasih upah yang diminta oleh buruh.” Sementara Ahok sendiri pernah mengatakan, upah di Jakarta idealnya adalah 7,5 juta, tapi dalam kebijakan justru pro pada upah murah.

Semestinya kita pecaya. Apabila upah layak, maka daya beli akan naik. Ketika daya beli naik, konsumsi naik. Disitu ekonomi akan tumbuh dan kesenjangan orang kaya dan miskin akan makin mengecil.

DKI Jakarta milik kita semua, bukan hanya milik mereka yang berduit. (*)

Pos terkait