Ketua KC FSPMI Labuhanbatu : Persatuan dan Kekuatan Satu-Satunya Jalan Untuk Melawan dan Meraih Kemenangan

Rantauprapat, KPonline, – Kaum pengusaha yang membayar upah murah kepada Buruh kemudian menyuruh Buruh untuk terus bekerja keras bahkan sampai melibatkan keluarganya sebagai pembantu adalah sebuah pemandangan yang biasa ditemui.

 

Artinya para kaum pengusaha bersama dengan komplotannya dengan terus mengekploitasi Buruh kesistym perbudakan modrn berhasil mencapai maksud dan tujuannya untuk terus menambah kekayaannya, dan hal ini mungkin sudah menjadi kodrat bahwa “kaum kapitalis selamanya hanya mencari keuntungan” sebaliknya kaum Buruh hanya bisa pasrah menyerah kepada nasibnya, tidak ada tempat untuk meminta perlindungan dan pembelaan, walau memiliki organisasi serikat Buruh, tetapi kelakuan sebagian pengurus serikat Buruh tidak berbeda dengan prilaku kaum kapitalis, hanya menjadikan Buruh sebagai objek kepentingan bisnis, pribadi dan kelompok, melalui pengutipan iuran bulanan anggota, Karta Tanda Anggota (KTA), pakaian seragam dan sebagainya, bahkan ada sebagian pengurus mengarahkan para Buruh untuk melakukan perlawanan melalui aksi-aksi industrial dengan tujuan Buruh diputus hubungan kerjanya kemudian mendapatkan pesangon, dan dengan dalih ikut membantu pengurusan uang pesangon PHK meminta imbalan, tanpa melihat dampak penderitaan Buruh dan keluarganya setelah kehilangan pekerjaan.

 

Pada dasarnya dengan melihat kondisi Buruh yang terus menerus diperlakukan tidak adil serta pasrah pada keadaan bisalah disimpulkan tujuan hidupnya hanya semata ingin hidupnya beserta keluarganya bisa selamat, bisa terus berlangsung dan dari upah yang diterimanya mampu mencukupi sembilan kebutuhan dasar pokok hidup, yang meliputi, makanan, pakaian, perumahan, berkembang, kesehatan, pendidikan, sosial dan spritual, dan jaminan hidup dimasa tua, Buruh tidak meminta kekayaan seperti yang dimiliki para pengusaha juga penguasa.

 

Tetapi dari upah yang diterimanya setiap bulan ternyata belum mampu untuk mencukupi sembilan kebutuhan dasar pokok tersebut, karena perhitungan upahnya dihitung oleh pengusaha dan penguasa sebagai upah Buruh lajang tanpa tanggungan istri dan anaknya, sehingga untuk memenuhi kekurangannya Buruh terpaksa melibatkan istri dan anaknya untuk bekerja,kalaupun hari ini banyak anak-anak Buruh yang memiliki pendidikan hanya pas-pasan, hal ini adalah sebuah kondisi yang sengaja diciptakan oleh pengusaha dan penguasa, tujuannya tidak lain adalah untuk memperpanjang siklus pembodohan, mudah mencari tenaga kerja, ” anak-anak Buruh akan tetap menjadi Buruh bekerja menggantikan orang tuanya yang sudah tua atau yang sudah pensiun”

 

Kenaikan upah yang jelas nyata ada intervensi dari penguasa serta nilainya sangat tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan dasar hidup, yang terpaksa harus diterima Buruh merupakan bentuk nyata Buruh hanya dieksploitasi sebagai mesin produksi untuk menambah pundi-pundi pengusaha, seruan dan ajakan dari organisasi serikat Buruh untuk melakukan perlawanan melalui aksi industrial hanya sebahagian kecil saja kaum Buruh yang mau ikut serta, sebahagian besar lagi lebih memilih diam, pasrah menyerah menerima kenyataan, sebab para Buruh yang tidak mau ikut serta melakukan aksi merasa trauma, dalam pemikirannya mengatakan tujuan aksi hanya untuk membesarkan nama organisasi dan nama besar ketua-ketuanya saja, aksi bukanlah sebuah solusi penyelesaian untuk menaikkan upah hal ini dengan melihat fakta dari beberapa kali aksi tidak ada perubahan terhadap regulasi dan nilai kenaikan upah, sedangkan dampak ikut serta aksi bisa kepada kehilangan pekerjaan yang berakibat kepada kesengsaraan, sebab bila pengusaha berkehendak dapat mencari dalih untuk melakukan PHK, salah satu dalihnya melakukan efisiensi dengan merasionalisasi tenaga kerja, serta PHK bukan sebuah perbuatan pidana, PHK legal dilakukan sepanjang memiliki alasan yang tepat dan demi kelangsungan perusahaan.

 

Kepentingan pengusaha adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari kegiatan usahanya, dan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya ini maka setiap saat para pengusaha melakukan evaluasi terhadap harga pokok produksi (HPP) dan harga jual produksi (HJP), unsur terbesar dari HPP adalah biaya dan tunjangan tenaga kerja, yang kaitan langsungnya kepada upah Buruh, hal inilah yang mendasari pengusaha dan pengusaha tidak menghendaki kenaikan upah yang relatif tinggi, sebab dengan naiknya upah yang relatif tinggi secara langsung akan berdampak pengaruh kepada naiknya HPP.

 

Disisi lain dipastikan sebagian pengurus serikat Buruh tidak mengerti tentang HPP, juga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan analisa dan mengevaluasi HPP, padahal kemampuan untuk menganalisa dan mengevaluasi HPP dan HJP ini mutlak harus dimiliki oleh setiap pengurus serikat Buruh, karena HPP erat hubungannya kepada target beban kerja Buruh, juga diperlukan bagi Pengurus Serikat Buruh untuk melakukan perlawanan atas kebijakan pengusaha dan penguasa yang nyata- nyata tidak berpihak kepada Buruh.

 

Selain tidak menaikkan upah yang sesuai, kebijakan berikutnya untuk menekan HPP yang kerap dilakukan oleh pengusaha adalah mengubah sistym hubungan kerja pada pekerjaan pokok (core business) atau pekerjaan yang berhubungan langsung kepada proses produksi, yang seharusnya pekerjaan pokok wajib berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) diubah sesukanya oleh pengusaha menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) padahal sesuai ketentuan regulasi hal ini tidak dibenarkan.

 

Kebebasan pengusaha untuk mengubah sistym hubungan kerja juga dibiarkan oleh Pemerintah dalam hal ini oleh Kementerian Tenagakerja berikut seluruh jajajarannya, utamanya Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, dan Seksi Penegakan Hukum ketenagakerjaan yang ada disetiap provinsi.

 

Tidak berjalannya fungsi pemerintah dibidang ketenaga kerjaan khusus untuk penindakan dan penegakan hukum ketenaga kerjaan, dapat dilihat dari jumlah pegawai yang ada disetiap kantor Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang jumlahnya sangat tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang ada disetiap Kabupaten /Kota, juga terlihat dengan wilayah kerjanya, satu UPT membawahi tiga hingga enam wilayah Kabupaten/Kota, terkesan dari jumlah keberadaan pegawai pengawas ini hanya bekerja makan gaji buta, dan sangat dimungkinkan ada indikasi dugaan setiap bulannya para pengusaha memberikan sejumlah uang upeti bulanan berkedok biaya koordinasi kepada para pegawai pengawas ketenagakerjaan ini.

 

Tindakan berikutnya yang dilakukan oleh sebahagian pengusaha untuk menekan HPP adalah tidak memberikan hak- hak pekerja PKWT sesuai yang tersebut dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), seperti, Bonus, Tunjangan Cuti, Santuan Air dan Listrik, Bantuan Anak Sekolah (BAS) dan lain-lainnya, sementara kita ketahui PKB yang ada disatu perusahaan pemberlakuannya wajib kepada semua Buruh diperusahaan bersangkutan baik PKWTT maupun PKWT. sebagaimana yang tersebut pada pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 28 Tahun 2014, yang menyebutkan” Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1(satu) PKB yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan baik PKWT maupun PKWTT”

 

Perbuatan pengusaha yang secara terang-terangan tidak memberikan hak-hak Buruh sebagaimana yang tersebut dalam PKB kepada Buruh PKWT, merupakan perbuatan melawan hukum dan/ atau perbuatan tindak pidana kejahatan dugaan penipuan atau penggelapan.

 

Dengan kondisi Buruh PKWT yang rarta- rata minim pengetahuan tentang hukum ketenagakerjaan mengakibatkan perbuatan pengusaha yang diduga melawan hukum ini terus berjalan secara masif, terstruktur dan sistematis.

 

Seharusnya hal ini tidak akan pernah terjadi kalau saja pengusaha saat melakukan perekrutan Buruh PKWT mau menyampaikan hak-hak Buruh secara terbuka sesuai dengan isi PKB, tetapi namanya pengusaha tentu tidak akan mau berterus terang mengatakan yang sebenarnya, karena sesuai filosofi mereka, ” Sepanjang Buruh bisa dibodohi, maka pembodohan harus dilestarikan”

 

Melihat dari jumlah Buruh sebenarnya tidak logika diperlakukan sebagai budaknya pengusaha dan penguasa, bila saja semua kaum Buruh mau bersatu sudah pasti akan melahirkan kekuatan dan kekuatan ini merupakan jalan kemenangan bagi Buruh untuk merebut kekuasaan.

 

Dan menjadi sebuah pertanyaan mengapa kaum Buruh terlalu sulit untuk diajak bersatu untuk melakukan perlawanan merebut kekuasaan.

 

Untuk menjawab pertanyaan ini selain Buruh itu sendiri yang bisa menjawabnya tentu para pengurus organisasi serikat Buruh yang ada, terutama tentang kapasitasnya sebagai pengurus organisasi serikat Buruh, diantara kapasitas ini, Pejuang, Pelindung,Pembela,Pecundang, Penikmat, Pemanfaat dan Penghianat, dikapasitas yang mana para pengurus serikat Buruh ini berada.

 

Bergabungnya Buruh kedalam sebuah organisasi serikat Buruh dengan rela dan ikhlas memenuhi semua kewajibannya seperti membayar iuran wajib anggota setiap bulannya, membayar uang KTA, membayar pakaian seragam dan kewajiban lain-lainnya, sudah pasti memiliki tujuan, untuk mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari organisasi terhadap perlakuan sewenang- wenang pengusaha dan penguasa, padahal sesuai dengan ketentuan regulasi ” Buruh tidak diwajibkan untuk menjadi atau tidak menjadi anggota sebuah organisasi serikat pekerja, dan Buruh yang tidak bergabung dalam organisasi serikat pekerja yang ada diperusahaan tempatnya bekerja tidak kehilangan hak untuk mendapatkan haknya sesuai yang tersebut pada Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

 

Hak untuk menjadi anggota atau tidak menjadi anggota sebuah organisasi serikat pekerja jelas diatur pada Pasal 28 Undang- Undang Nomor: 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, dan hak ini juga dijamin pada konstitusi Negara UUD-1945, Piagam Ham, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Undang- Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Selain itu tidak ada larangan kepada Buruh untuk bergabung kedalam organisasi Serikat Buruh yang dikehendakinya, meskipun serikat Buruh tersebut berada diluar perusahaan tempatnya bekerja.

 

Dari keikhlasan Buruh bergabung kedalam satu serikat pekerja serta patuh dan taat untuk memenuhi seluruh kewajibannya, seharusnya seluruh pengurus serikat pekerja bisa memahami bahwa fungsi serikat pekerja adalah sebagai sarana untuk mencerdaskan kaum Buruh, sarana untuk membangun kerukunan hidup, dan sarana untuk membentuk dan membangun sebuah kekuatan guna melawan kekuatan dan kekuasaan pengusaha dan penguasa, atau setidaknya bisa menyamai kekuatan dan kekuasaan pengusaha dan penguasa.

 

Jika kaum Buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh bisa mengalahkan kekuatan dan kekuasaan kaum kapitalis, maka cita-cita Buruh bebas dari belenggu ketertindasan dan bisa hidup sejahtera bukanlah sebuah kemustahilan.

 

Sebaliknya bila para pengurus serikat Buruh masih menjadikan kaum Buruh sebagai ladang bisnis untuk kepentingan pribadi melalui pengutipan iuran wajib bulanan anggota maka harapan untuk melahirkan sebuah kekuatan guna melawan kekuatan dan kekuasaan pengusaha dan penguasa hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan, demikian halnya terhadap harapan Buruh terbebas dari belenggu penindasan dan untuk dapat hidup sejahtera tidak akan pernah akan berwujud menjadi kenyataan, artinya tidak ada gunanya Buruh bergabung dalam sebuah organisasi serikat Buruh. (MP)