Kesadaran Kelas Pekerja Melawan Perbudakan Modern

Kesadaran Kelas Pekerja Melawan Perbudakan Modern

Penulis : Roni Febrianto, ST, M Fil [1]

 

Bacaan Lainnya

Pendahulan

Merujuk pada Undang Undang Nomor 21 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh: Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

 

Selama lebih 300 tahun terakhir, banyak serikat buruh yang berkembang ke sejumlah bentuk, dipengaruhi oleh bermacam rezim politik dan ekonomi. Tujuan aktivitas serikat buruh beragam, tetapi secara prinsip adalah meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui perundingan kolektif, tinadakan pemogokan dan aktivitas politik dengan membentuk partai politik. Selama era orde baru hanya ada satu Serikat Pekerja, dimulai dari deklarasi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) 20 Februari 1973.

 

Deklarasi FBSI sekaligus mengukuhkan Bpk Agus Sudono sebagai Ketua Umum pertama dan menetapkan tanggal 20 Februari adalah hari lahirnya KSPSI.[2] Di Indonesia pasca reformasi payung hukum untuk serikat pekerja/serikat buruh adalah Undang Undang Nomor 21 tahun 2000 yang merupakan satu dari tiga paket undang undang ketenagakerjaan pasca reformasi selain Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 dan Undang Undang Nomor 2 tahun 2004.

 

Setelah terjadi Reformasi, 11 dari 13 Sektor SPSI sepakat untuk berpisah dari SPSI yang ada dan mendirikan SPSI-Reformasi. Kemudian, berubah menjadi Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Namun, 5 dari 11 organisasi yang sebelumnya sepakat untuk berpisah kemudian memutuskan untuk mundur yaitu LEM, Pertanian Perkebunan (SP-PP), RTMM, KPI, dan SPTI. Di sisi lain, 5 organisasi serikat buruh lainnya memutuskan untuk bergabung:

Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Federasi Industri Semen Seluruh Indonesia (ISSI), yang merupakan pecahan KEP, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan GASBIINDO. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), awalnya sebagai Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), didirikan pada 1 Februari 2003.

 

KSPI salah satu konfederasi buruh terbesar di Indonesia, bersama dengan  Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). KSPI juga merupakan anggota dari  International Trade Union Confederation (ITUC).[3]  Merujuk pada data Kementrian Ketenagakerjaan(Kemenaker) jumlah konfederasi SP/SB saat ini ada 21, 197 Federasi dan jumlah basis sebanyak 12.346 Serikat Pekerja dengan anggota tercatat kira-kira 4 juta.[4]

 

Perjalanan Panjang Serikat Buruh

Di Indonesia, gerakan serikat buruh atau pekerja mempunyai sejarah panjang. Gerakan buruh dimulai sejak abad XIX (1879) dengan lahirnya NIOG (Netherland Onder Werpen Genootschaft), serikat pekerja pertama yang mengorganisir guru-guru di sekolah Belanda. Setelah itu muncul serikat-serikat lainnya sesuai dengan profesi pekerja. Pada tahun 1905, tercipta serikat buruh pertama di Jawa, yakni Statspoor Bond (serikat kereta api negeri).

Dilanjutkan dengan Suikerbond (serikat buruh gula) pada 1906, Cultuurbond Vereeniging v. Asistenten in Deli (serikat pengawas perkebunan Deli) pada 1907, dan Vereeniging von Spoor en Tramweg Personeel in Ned-Indie (serikat buruh kereta api dan trem) di tahun 1908. Serikat-serikat buruh semula berada di bawah kendali Eropa, secara perlahan buruh pribumi mulai bergabung.[5] Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) adalah serikat buruh kereta api dan trem pertama, berdiri pada 14 November 1908. Organisasi ini memiliki akar gerakan radikal melawan ketidakadilan yang diciptakan sistem kolonial. Gerakan protes buruh menjadi awal gerakan sosial modern, menggantikan gerakan-gerakan sosial sebelumnya berbasis tradisional. Sneevliet [6] menjadikan VSTP terbuka bagi buruh pribumi. Dalam organisasi sudah mulai diperkenalkan pentingnya pembukaan cabang, pertemuan tahunan, penarikan sumbangan anggota, dsb. Karena VSTP bergerak radikal membela kepentingan pegawai-pegawai pribumi yang miskin, dalam jangka waktu singkat anggota serikat menjadi dua kali lipat, dan sebagian besar pribumi. Pada tahun 1920 telah tercatat sekitar 100 serikat buruh dengan 100.000 anggota.

Hal ini tidak terlepas upaya propaganda yang dilakukan oleh aktivis buruh dengan berbagai macam cara seperti pamflet, surat kabar, dan selebaran. Peningkatan jumlah buruh upahan di perkotaan yang terus meluas, dan sadar akan kondisi eksploitatif tempat mereka bekerja dan hidup, serta mulai percaya bahwa mereka mampu melakukan perbaikan.

Pada zaman itu, serikat buruh sudah secara aktif dalam usaha kerasnya meningkatkan upah dan juga memperbaiki kondisi kerja bagi para anggota, melalui berbagai cara salah satunya adalah pemogokan. Setelah Perang Dunia I serikat-serikat buruh melakukan gelombang pemogokan yang berkesinambungan dan cukup berhasil sampai 1921. Timbulnya gerakan buruh di kalangan bangsa Indonesia merupakan suatu letupan reaksi yang muncul akibat terkoyaknya harga diri sebagai suatu bangsa yang merasa terkungkung hidup dalam penjajahan.

Serikat buruh tampil sebagai organisasi golongan yang hanya menampung masyarakat keturunan Eropa sebagai anggotanya, sehingga timbul keinginan dari kelompok pribumi untuk membentuk organisasi serupa. Dalam perkembangannya, organisasi yang pada mulanya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan buruh ini, bereinkarnasi menjadi gerakan politik. Tidak mengherankan jika dalam  perjalanannya pasang-surut pergerakan buruh sebagian ditentukan oleh gelombang politik kebangsaan dalam perjuangan pembebasan diri dari kungkungan kolonialisme pemerintahan Hindia Belanda.

Berbeda dengan gerakan Serikat buruh di Barat yang disebabkan oleh perkembangan industrialisasi, di Indonesia Serikat buruh berkembang dari gerakan kelas menengah atau kaum terpelajar. Mereka yang pertamakali mendorong terbentuknya Serikat buruh, beberapa di antaranya kemudian bereinkarnasi menjadi organisasi-organisasi kebangsaan yang bersifat militan dan radikal dalam melakukan aksi-aksi pergerakannya melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.[7] Pasca kemerdekaan organisasi massa buruh yang bernama BBI (Barisan Buruh Indonesia) mengutamakan barisan buruh untuk memudahkan mobilisasi oleh Serikat Buruh dan Partai Buruh.

Dalam kongresnya pada bulan September 1945 yang dihadiri oleh kaum buruh dan tani tercetuslah Partai Buruh Indonesia untuk menuntaskan revolusi nasional untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh. Tahun 1946 BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia) sedangkan yang tidak sepakat membentuk GASBV(Gabungan Serikat Buruh Vertikal) pada bulan November keduanya dilebur menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), organisasi yang demokratis sentralisme dimana pengurus sentral bertanggung jawab pada kongres. Tahun 1948, SOBSI sempat mengalami perpecahan karena perbedaan sikap menanggapi perjanjian Renvile, namun akhirnya kembali bisa mengkonsolidasikan diri dan tegas menolak perjanjian Renvile. SOBSI sangat berpengaruh dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di akhir tahun 1950-an. Selanjutnya dinamika politik di tanah air makin terasa, ratusan organisasi serikat buruh berafiliasi dengan kekuatan politik sebagai underbownya dengan tujuan mengumpulkan anggota sebanyak mungkin seperti  Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI) berafiliasi dengan NU.

Lalu Serikat Buruh Muslimin Indonesia dengan Parmusi, Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) dengan Murba, Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI) pun berafiliasi dengan militer, mereka berperan aktif dalam mendorong “pematangan” demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Buruh yang terlibat dalam organisasi tertentu di tahun 1950-an jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh ini bergabung di bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat nasional.[8] Ada empat Serikat Buruh yang cukup besar yaitu [9]:

  1. SOBSI dibentuk tahun 1946 ketika Indonesia sedang berada dalam perang kemerdekaan, federasi ini memiliki organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi administrasi dengan anggota sekitar 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan D.N. Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU).

 

  1. Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) yang berhaluan non-komunis, didirikan pada tanggal 12 Mei 1953. Pada saat pembentukan anggotanya mencapai 800.000 orang, tapi seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya kemudian berkurang. Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh di tingkat internasional, terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.

 

 

  1. SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia) yang berdiri pada bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan namanya, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran- ajaran Quran. SBII juga memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU) dan mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.

 

  1. Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) yang semula bernama Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, didirikan pada l 10 Desember 1952. Organisasi ini memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia, azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. Anggota KBKI sekaligus merangkap juga sebagai anggota PNI, keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (di tahun 1958 jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Memiliki jaringan dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, tetapi memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.

Di awal pemerintahan Orde Baru dilakukan seminar yang diselenggarakan oleh YTKI pada tanggal 21-28 Oktober 1971, berupaya pembentukan ulang organisasi buruh tunggal tingkat nasional. Gerakan buruh harus seratus persen lepas dari pengaruh politik. Tidak boleh menggantungkan dana dari luar organisasi, dan pemungutan iuran harus melalui pemeriksaan keuangan. Fokus gerakan buruh bertumpu pada isu sosial dan ekonomi, Serikat-serikat buruh yang telah ada harus ditata ulang, setiap lapangan pekerjaan hanya boleh ada 1 organisasi buruh, yaitu Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP). Sebagai bentuk realisasinya, didirikanlah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang diketuai oleh Agus Sudono pada tanggal 20 Februari 1974.

Diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Koperasi No. Per./01/Men/1975, membuat secara otomatis peraturan pendaftaran serikat buruh terdahulu tidak berlaku. Peraturan baru ini mengatur syarat-syarat pendaftaran serikat buruh. Di antaranya harus memiliki pengurus setidaknya di 20 daerah tingkat I dan anggota minimal 15 buruh.

Untuk mengantisipasi gerakan buruh yang terlalu radikal seperti pada masa Soekarno, maka diperkenalkan ideologi Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Ideologi yang muncul sejak 1966 ini ditekankan kembali melalui seminar nasional Hubungan Perburuhan Pancasila yang diselenggarakan pada tanggal 4-7 Desember 1974.

Dalam seminar tersebut melahirkan prinsip baru terkait hubungan antara buruh dan perusahaan yang berbalik dari masa sebelumnya, sebagai berikut. Prinsip rumongso handarbeni (merasa memiliki), Prinsip melu hangrukebi (ikut memajukan dan mempertahankan), Prinsip mulat sarira hangroso wani (berani introspeksi diri). Lahirnya prinsip-prinsip baru tersebut mempengaruhi hubungan antara buruh dan pengusaha yang dulunya antagonis, kini menjadi keluarga. Latar Belakang, Penyebab, dan Penyelesaian Buruh dalam Perkembangan Orde Baru Tahun 1985 terjadi lagi perombakan dalam organisasi buruh tunggal dengan mengganti FBSI menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Hal ini didasari keinginan Soeharto yang sudah tidak cocok dengan ketua FBSI, Agus Sudono, yang mulai sulit dikondisikan. Tidak hanya itu, HPP juga digantikan menjadi Hubungan Industrial Pancasila, perubahan istilah buruh menjadi pekerja atau karyawan, dan perubahan lainnya. Namun, pada dasarnya apa yang telah diusahakan oleh Soeharto dalam mengotak-atik organisasi buruh, tidak berdampak banyak dalam menyelesaikan permasalahan buruh di Indonesia.

Kekerasan dan eksploitasi buruh masih berlangsung yang dikendalikan melalui tangan-tangan besi di bawah rezim Soeharto. Prinsip-prinsip yang lahir dari seminar HPP tidaklah direalisasikan dengan seksama, faktanya aksi para buruh tidak diselesaikan dengan cara kekeluargaan, melainkan dengan kekerasan. Berkali-kali aksi pemogokan kerja para buruh sebagai bentuk protes untuk menerima perlakukan yang layak sebagai tenaga kerja, disikapi oleh militer dengan kekerasan.

Misal aksi yang dilakukan oleh karyawan PT. Catur Putra Surya yang berkaitan dengan pembunuhan seorang karyawan wanita bernama Marsinah dan PHK bagi 13 karyawan lainnya. Di antara tuntutan para aksi massa buruh pabrik yang berlangsung di Indonesia tidak jauh dari tuntutan kenaikan upah yang memang minim kala itu. Pada tahun 1987, upah buruh di Indonesia berada di angka terendah di antara 50 negara yang disurvei oleh Lembaga Warner International Management Consultants. Harga buruh yang murah kala itu memang dijadikan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik minat para investor asing.

Dalam perkembangannya hingga lengsernya Soeharto tahun 1998, banyak peristiwa-peristiwa kekerasan yang menimpa kaum buruh yang memperjuangkan nasib hidup layak mereka sebagai pekerja.[10] Pasca Reformasi ada tiga undang-undang yang sangat berpengaruh terhadap kondisi ketenagakerjaan Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Telah terjadi perubahan mendasar pengaturan serikat pekerja/buruh. Sebelumnya serikat pekerja hanya satu, yaitu SPSI, sekarang bebas di satu perusahaan dapat membentuk serikat pekerja/buruh lebih dari satu. Sayangnya Serikat Buruh belum siap untuk melakukan peningkatan kualitas, hanya mengejar kuantitas belaka.

Supaya terjadi peningkatan kualitas serikat pekerja/ buruh pasca reformasi ini harus tercipta iklim demokratis yang terbuka di setiap perusahaan.[11] Banyak serikat di perusahaan-perusahaan besar masih didominasi oleh SPSI yang notabene adalah bentukan pemerintah. Sedangkan serikat buruh yang dibentuk secara mandiri lebih banyak berada di pabrik-pabrik kecil. Serikat buruh non-SPSI kemudian sering melakukan aksi-aksi masa untuk memperjuangkan hak-haknya.

Aksi-aksi tersebut juga sebenarnya ditentang oleh SPSI. Pada tahun 2005-2006, SPSI mulai melakukan aksi masa layaknya gerakan-gerakan buruh lainnya. Aksi tersebut bukan untuk menuntut upah layak tapi semata-mata hanya untuk mempertahankan anggotanya. Sekarang SPSI mulai menerima atau bahkan melakukan aksi masa untuk perjuangannya.

Pada tahun 2010-2011 di wilayah Bekasi, serikat buruh memperjuangkan buruh kontak dan alih daya (outsourcing) menjadi buruh tetap. Serikat buruh melakukan aksi solidaritas lintas pabrik dengan istilah “gruduk pabrik”. Aksi solidaritas tersebut lumayan kuat meskipun dengan media seadanya. Dengan menyuarakan “hajatan” kepada buruh-buruh lainnya di lintas pabrik, kabupaten bahkan provinsi, buruh kemudian berdatangan, mengepung pabrik dengan masa hingga 30.000.

Ada tiga kali aksi buruh yang telah melakukan gerakan mogok nasional yang melibatkan jutaan buruh. Menilik ke belakang, gerakan buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan tidaklah mudah. Seperti Mukhtar Pakpahan pada tahun 1994 dengan SBSI-nya, melakukan pemogokan namun kemudian dipenjara.

Marsinah juga dibunuh dengan sadis karena mengorganisir gerakan buruh. Perlakuan tersebut untuk menekan buruh agar trauma untuk tidak lagi melakukan gerakan-gerakan serupa.

Saat ini tidak ada yang menandingi gerakan buruh dalam memobilisasi massa, bahkan jika dibandingkan dengan partai politik sekalipun. Buruh tidak dibayar untuk melakukan berbagai aksi masa dan pemogokan. Sebaliknya buruh saling tanggung renteng untuk menyukseskan aksinya. Reformasi 1998 juga telah mengubah struktur ekonomi politik, melalui kebijakan ekonomi neoliberalisme.

Dalam segi perburuhan yakni fleksibilitas tenaga kerja, kasus-kasus yang terjadi banyak pada persoalan kontrak dan outsourcing. Dalam lima tahun ini gerakan buruh  kembali terfragmentasi saat terjadinya pemilu, karena ego elit serikat buruhnya walaupun di lapangan para buruh sadar untuk terus bersatu dan bergerak bersama memperjuangan perbaikan nasibnya. Sehingga sangat sulit untuk melakukan gerakan pemogokan nasional yang bisa melibatkan jutaan massa buruh terkait upah dan alih daya (Outsurcing). [12]

Sejak disahkan oleh DPR RI dan pemerintah pada 5 Oktober 2020, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Omnibus Law) telah menimbulkan polemik besar di tengah masyarakat. Sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Presiden Joko “Jokowi” Widodo tetap gigih menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Belakangan, Perppu tersebut ditetapkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Pemerintah mengklaim telah memperbaiki berbagai ketentuan dan substansi yang dianggap menghambat investasi, misalnya terkait penyediaan lapangan kerja dan perkembangan pasar tenaga kerja.

Namun, kelompok pengusaha dan buruh sebagai pihak yang saling berhadapan masih berbeda pendapat soal UU Cipta Kerja. Ini dapat dilihat dari masifnya berbagai aksi demonstrasi yang melibatkan buruh dan aktivis gerakan akar rumput di berbagai wilayah di Indonesia. Kelompok buruh menilai UU Cipta Kerja masih memuat aturan yang tak berpihak pada mereka, mulai dari sistem pengupahan yang timpang antar daerah, adanya potensi penurunan nilai pesangon dan ketidakjelasan jaminan pekerja memperolehnya, tidak diaturnya persoalan cuti panjang, pengurangan istirahat mingguan, hingga tak adanya batas waktu yang jelas terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Sementara itu, pemerintah dan kelompok pengusaha terus mengklaim bahwa UU ini tidak melupakan perlindungan buruh meski tujuannya adalah mendukung investasi. Terkait persepsi masyarakat di media sosial terhadap UU Cipta Kerja dalam kaitannya terhadap kesejahteraan buruh. Tinjauan melalui analisis big data di media sosial X (dulunya Twitter).

Melihat dampak yang dihasilkan dari proses pembentukan UU Cipta Kerja terhadap pihak-pihak yang terlibat, baik kelompok pengusaha maupun buruh.  Mayoritas pengguna X mengungkapkan bahwa buruh masih berada dalam posisi subordinat. Artinya, hingga kini mereka belum berada pada kondisi yang sejahtera. Dalam rentang waktu 2 November 2020 hingga 13 Mei 2023. Setidaknya ada empat traffic tweet yang teridentifikasi.

Analisis ‘big data’: ‘traffic tweet’ atas UU Cipta Kerja.

Pertama, tepat sehari setelah UU Cipta Kerja disahkan, mayoritas respons publik cenderung negatif.

Hal ini karena UU Cipta Kerja disahkan melalui proses yang tidak partisipatif dan cenderung mengabaikan suara buruh. Kemudian, sekitar setahun sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, traffic tweet kembali meningkat. Besar kemungkinan ini terjadi karena pada 27 November 2021, MK mengeluarkan putusan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat. Pada 20 Mei 2022, kenaikan traffic tweet kembali terjadi. Selain karena bulan Mei kerap dianggap sebagai bulan perlawanan kaum buruh, di bulan tersebut juga terbuka pintu revisi UU Cipta Kerja. Sebelum RUU Pembentukan Perppu disetujui dan disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR RI, terjadi banyak penolakan dari publik. Penolakan tersebut berkaitan dengan pentingnya pendalaman atas materi RUU dan penguatan partisipasi publik dalam penyusunan UU.

Kenaikan traffic tweet terjadi lagi pada 21 Maret 2023, yakni tepat setelah disetujuinya Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Cipta Kerja. Cuitan yang mendapat engagement tertinggi adalah yang membahas kejadian microphone yang mendadak mati, atau dimatikan, saat anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, menyampaikan penolakan atas pengesahan Perppu tersebut.

Adapun cuitan teramai adalah yang benarasikan protes publik terhadap disahkannya UU Cipta Kerja pada tahun 2020. Mayoritas protes tersebut mengungkapkan bagaimana publik merasa pemerintah bertindak bukan mewakili kehendak rakyat. Berdasarkan empat momen traffic tweet tersebut, dapat disimpulkan bahwa publik menganggap UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tujuan kesejahteraan buruh dan merasa bahwa buruh masih berada dalam posisi subordinat.

Artinya, UU Cipta Kerja belum bisa dikatakan berdampak positif bagi publik, terutama golongan menengah ke bawah.Ini sejalan dengan pendapat-pendapat para pakar, bahwa UU Cipta Kerja justru merugikan posisi para pekerja dan hanya bertujuan untuk menarik investor semata[13]

Era perbudakan modern pasca lahirnya UU Cipta Kerja

Alih-alih mensejahterakan pekerja, UU Cipta Kerja yang cenderung berpihak pada investor ini justru menciptakan sebuah dampak baru, yaitu modern slavery (perbudakan di era modern). Ini merupakan praktik sistemik eksploitasi manusia yang melibatkan penindasan, penyalahgunaan, dan pembatasan kebebasan individu demi keuntungan ekonomi.  Korbannya, dalam hal ini buruh atau pekerja, dipaksa bekerja atau hidup dalam situasi yang terkekang dan sulit keluar dari perangkap.

 

Kondisi tersebut tak ubahnya seperti perbudakan yang terjadi di masa silam. Perbudakan telah hadir selama ribuan tahun dan terjadi di semua peradaban hingga hari ini. Ada berbagai variasi bentuk perbudakan, misalnya gaji pekerja yang tidak sesuai dengan waktu bekerja, jaminan kesehatan dan keselamatan yang tidak diberikan, dan bentuk lain sebagai langkah menekan biaya variabel produksi.

Sejak zaman dahulu kala, kesejahteraan buruh masih menjadi barang mewah. Pada masa Hindia Belanda, buruh dipekerjakan tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan, tidak memperoleh upah, dan dituntut target pekerjaan yang tidak masuk akal. Hari ini, buruh memang tidak mengalami perbudakan paksa, tetapi mereka berada dalam posisi yang inferior dan tertindas dalam struktur ekonomi yang kapitalistik.

 

Langkah pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja yang cenderung pro investasi semakin membuktikan bagaimana rakyat yang bekerja diperas tenaga dan keringatnya.  Praktik atas pengabaian hak-hak pekerja inilah yang dapat disebut modern slavery.

 

Di seluruh dunia, jumlah pekerja yang menderita akibat kondisi kerja yang tak aman, tak menentu, dan tak dapat diprediksi sangatlah banyak. Artinya, meskipun bekerja, kelompok buruh umumnya tidak memiliki pekerjaan dan upah yang layak, jaminan masa depan, perlindungan sosial, dan akses terhadap hak mereka. Hal ini semakin diperparah oleh serikat pekerja yang terfragmentasi, sehingga tidak memiliki banyak pengaruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh.

Di banyak negara, termasuk di Indonesia, ada kegagalan dalam memerangi perbudakan dan eksploitasi modern secara efektif melalui sistem tata kelola ketenagakerjaan yang ada. Persoalan utama terletak pada lemahnya penegakkan hukum dan penerapan regulasi yang tidak memihak pada buruh. Lemahnya penegakkan hukum memungkinkan setiap perusahaan untuk mengeksploitasi celah yang ada.

Sementara regulasi yang tidak memihak buruh hanya akan memenangkan kepentingan kelas pemodal.

Kesimpulan

  1. Awal gerakan serikat pekerja di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kelas menengah terpelajar yang telah membawa ide-ide dan gagasan-gagasan dalam pola organisasi maupun pola perjuangan. Kaum intelektual membawa perubahan dalam corak perlawanan buruh terhadap majikan atau pemerintah misalnya dengan melakukan aksi pemogokan.

 

  1. Orde Lama memberikan tempat yang terhormat kepada gerakan buruh dengan menyebutkannya sebagai soko guru revolusi. Sebagai perbandingan, masa kolonial gerakan buruh menjadi salah satu kekuatan oposisi yang menentang kekuasaan pemerintah, sementara pada masa orde lama gerakan buruh merupakan salah satu kekuatan utama penopang kekuasaan rezim yang berkuasa.

 

 

  1. Di awal pemerintahan Orde Baru berupaya pembentukan ulang organisasi buruh tunggal tingkat nasional, harus lepas dari pengaruh politik, dan fokus pada isu sosial dan ekonomi. Kekerasan dan eksploitasi buruh berlangsung yang dikendalikan melalui tangan-tangan besi di bawah rezim Soeharto. Upah buruh di Indonesia berada di angka terendah di antara 50 negara yang disurvei memang untuk menarik minat para investor asing.

 

  1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat memberikan kebebasan di satu perusahaan dapat membentuk serikat pekerja/buruh lebih dari satu. Pada tahun 2010-2011 di wilayah Bekasi, serikat buruh memperjuangkan lewat aksi gruduk pabrik. Ada tiga kali aksi gerakan mogok nasional yang melibatkan jutaan buruh. Sayangnya ditingkat nasional dalam 5 tahun kembali terfragmentasi karena pengaruh pemilihan presiden dan ego elitnya, sehingga sangat sulit untuk kembali melakukan gerakan pemogokan nasional yang bisa melibatkan jutaan massa.

 

 

  1. UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Terkait persepsi masyarakat di media sosial mayoritas respons publik cenderung negative, akibat disahkan melalui proses yang tidak partisipatif dan cenderung mengabaikan suara buruh dan tidak sejalan dengan tujuan kesejahteraan buruh dan merasa bahwa buruh masih berada dalam posisi subordinat. UU menjadi modern slavery (perbudakan di era modern). Dimana praktik sistemik eksploitasi manusia yang melibatkan penindasan, penyalahgunaan, dan pembatasan kebebasan individu demi keuntungan ekonomi. Praktik atas pengabaian hak-hak pekerja dapat disebut modern slavery. Regulasi yang tidak memihak buruh akan memenangkan kelas pemodal.

Rekomendasi

  1. Dengan data keanggotaan 4 Jutaan di Kementrian Tenagakerja, gerakan buruh saat ini sudah semestinya berjuang mengorganisir para pekerja yang belum terorganisir karena jumlahnya masih puluhan juta agar secara sistematis terbangun kesadaran kelas yang makin banyak dihilangkan dengan terbitnya UU Cipta Kerja. Dampaknya gerakan buruh terkoyaknya harga diri sebagai suatu bangsa yang hidup dalam perbudakan modern sehingga wajib dilawan dengan kesadaran kelas secara sabar dan massif.

 

  1. Pemogokan yang terorganisir dan berkesinambungan adalah salah satu senjata pamungkas kaum buruh sejak dari awal gerakan buruh di Indonesia hadir, untuk melawan ekspolitasi yang semakin massif pasca diterbitkannya UU Cipta Kerja yang merupakan bentuk perbudakan modern.

 

  1. Semangat Solidaritas sesama kelas pekerja wajib dibangun dengan sabar, disisi lainnya Soliditas gerakan buruh juga perlu dibangun dari tingkat nasional sampai daerah dan tingkat perusahaan, karena selama 5 tahun terfragmentasi akibat pengaruh politik saat pemilihan presiden. Fragmentasi dan ego elit wajib dihapuskan agar perlawanan atas perbudakan modern bisa terus dilakukan secara berkelanjutan tanpa lelah sampai UU Cipta Kerja dicabut agar hak-hak dasar kaum buruh bisa kembali didapat. Selanjutnya solidnya buruh menjadi contoh bagi masyarakat untuk berjuang terus dalam semangat bergerak bersama agar kelas pekerja sejahtera dan mewujudkan negara yang berkeadilan.

 

 

 

 

 

 

[1] Wakil Presiden Jaminan Sosial DPP FSPMI, Periode 2021-2026; Deputy Riset-Pengembangan Partai Buruh, Periode 2022- 2027

[2] https://kspsi.or.id/sejarah-kspsi/diakses 8 Juli 2024

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Konfederasi_Serikat_Pekerja_Indonesia. Diakses 8 Juni 2024.

[4] https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/08/pekerja-muda-enggan-bergabung-di-serikat-pekerja. Diakses 8 Juni 2024.

[5] https://nasional.sindonews.com/read/1084603/12/sejarah-pergerakan-buruh-di-indonesia-dan-daftar-69-organisasinya. Diakses 8 Juni 2024.

[6] Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau lebih dikenal sebagai Henk Sneevliet (13 Mei 1883 – 13 April 1942) seorang aktivis Komunis asal Belanda, yang aktif di Belanda dan di Hindia Belanda.

[7] https:// sejarah+panjang+serikat+buruh+di+Indonesia. Diakses pada 9 Juni 2024.

[8] https://serikat+pekerja+pasca+kemerdekaan+indonesia. Diakses pada 9 Juni 2024.

[9] AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah  Volume 1, No. 1, Januari 2013

[10]  https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/30/080000979/sejarah-gerakan-buruh-pada-masa-orde-baru. Diakses pada 9 Juni 2024.

[11] https://repository.um-surabaya.ac.id/3118/1/1._buku_hk_ketenagakerjaan_pasca_reformasi.pdf. Diakses 4 Juni 2024.

[12] https://bantuanhukum.or.id/sebuah-babak-baru-buruh-di-era-reformasi. Diakses 4 Juni 2024.

[13] https://theconversation.com/riset-uu-cipta-kerja-gagal-sejahterakan-buruh-hanya-untungkan-pemodal. Diakses 9 Juli 2024