Perjuangan di Tengah Hujan: Refleksi IWD 2024 Dalam Bayang-Bayang Kenaikan Harga Bahan Pokok

Oleh: Kahar S. Cahyono*

Minggu lalu, di tengah rintik hujan yang turun tanpa henti, saya hadir dalam aksi unjuk rasa di depan Istana. Bersama ratusan buruh lainnya, bergerak bersama, menuntut negara untuk tidak abai terhadap penderitaan rakyatnya.

Bacaan Lainnya

Satu hal yang perlu digarisbawahi, setiap kali kaum buruh menggelar parlemen jalanan, itu bukan hanya sekedar rutinitas demonstrasi, melainkan sebuah manifestasi dari kesadaran politik yang telah berkembang jauh melampaui dinding-dinding pabrik.

Aksi kemarin itu mengusung tiga isu. Turunkan harga, cabut omnibus law UU Cipta Kerja, dan wujudkan pemilu bersih. Ketiganya, kami menyebutnya sebagai TRITURA. Tiga tuntutan rakyat.

Dalam kesempatan ini saya akan fokus pada tuntutan penurunan harga bahan pokok yang telah memukul daya beli masyarakat.

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, yang juga ikut dalam aksi dengan tegas menyampaikan, “Kami mendesak pemerintah untuk segera mengendalikan harga-harga dalam kurun waktu tujuh hari, mengingat kita akan segera memasuki bulan suci Ramadhan.”

Saya rasa, pernyataan ini bukan hanya sekadar seruan, melainkan juga sebuah refleksi dari kepedulian kaum buruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti kita tahu, menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, harga-harga cenderung naik. Kita tidak ingin rakyat semakin tercekik, terlilit dengan harga-harga yang menjulang.

Maka tidak salah jika kita mengatakan, aksi ini bukan hanya tentang perjuangan upah atau kondisi kerja, tetapi juga tentang keadilan sosial.

Semacam kesadaran, bahwa urusan buruh tidak hanya terbatas di pabrik, tetapi juga berkaitan erat dengan kehidupan publik. Kenaikan harga bahan pokok merupakan isu yang menyentuh semua lapisan masyarakat, dan sebagai bagian dari masyarakat, buruh merasa terpanggil untuk bersuara.

Perempuan, sebagai bagian integral dari gerakan buruh dan masyarakat, menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak oleh kenaikan harga ini. Dengan peran ganda mereka, baik di rumah maupun di tempat kerja, tekanan ekonomi yang meningkat seringkali menambah beban hidup mereka.

Itulah sebabnya, dalam konteks Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2024 ini, aksi pekan lalu juga menjadi simbol solidaritas dan pengakuan akan perjuangan dan kontribusi perempuan dalam masyarakat.

Aksi itu dengan jelas memperlihatkan bahwa buruh tidak hanya peduli pada isu-isu yang langsung berkaitan dengan pekerjaan, tetapi juga terhadap isu-isu sosial yang lebih luas. Keadilan sosial dan ekonomi adalah hak semua orang, kita akan terus berjuang untuk mewujudkannya.

Hujan yang saat itu turun seakan menjadi simbol dari tantangan yang kami hadapi, namun juga menjadi saksi keteguhan hati kaum buruh dalam berjuang ini. Setiap tetes air hujan seolah hendak mengingatkan kita, bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang yang berhak hidup dalam dunia yang lebih adil dan sejahtera. Dan itu nyata. Ratusan orang berdiri di sana, basah, namun saya bisa merasakan semangat yang tidak pernah padam.

Perjuangan ini menjadi bagian dari sejarah yang akan terus kita ceritakan, sebuah kisah tentang bagaimana hujan keadilan mulai turun, dimulai dari langkah kaki kaum buruh di jalanan menyerukan keadilan.

*Kahar S. Cahyono – Wakil Presiden FSPMI, KSPI, dan Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh

Pos terkait