JAKARTA,KPonline- Setelah mendapat desakan hebat dari buruh akhirnya DPR RI menyatakan mendukung keinginan buruh untuk merevisi UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Buruh menilai UU PPHI yang sudah menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak aspiratif dan jauh dari kata keadilan.
Dukungan DPR RI ini didapat usai perwakilan buruh (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Forum Buruh Bekasi dan Aliansi Buruh DKI Jakarta) menemui Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang politik dan keamanan, Fadli Zon. Dalam pertemuan tersebut Fadli Zon juga didampingi anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka.
“Kami berkomitmen terhadap segala sesuatu yang menjadi apsirasi masyarakat apalagi ini berkaitan dengan hubungan industrial, tentu akan kami dukung. Permintaan buruh untuk merevisi UU No. 2 tahun 2004 tentang PPHI saat ini sudah menjadi prioritas dan sudah masuk dalam prolegnas,” ujar Fadli Zon, sebagai mana dikutip dari dpr.go.id.
Menurut Fadli Zon ia memahami keinginan buruh melihat kenyataan UU PPHI ini pada prakteknya kerap merugikan kaum buruh. Sering terjadi saat muncul perselisihan hubungan industrial, ternyata proses penyelesaiannya sangat lama, mahal dan cenderung hasilnya tidak adil bagi buruh yang berperkara.
Pada kesempatan tersebut, buruh juga mengungkapkan kepada Fadli Zon pengalaman mereka saat berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Seperti pengalaman mereka berperkara Rp 10 juta di PHI, ternyata biaya yang dihabiskan saat proses penyelesaian masalah tersebut jauh lebih besar, bahkan bisa menghabiskan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Menjawab persoalan tersebut, Fadli Zon mengatakan dalam waktu dekat pimpinan DPR bersama Komisi terkait yaitu Komisi IV dan Komisi IX DPR RI akan rapat membahas masalah ini karena memang sudah masuk program legislasi nasional. “Saya yakin masalah ini akan selesai dalam periode ini,” paparnya.
Sementara itu, Rieke Diah Pitaloka juga mengakui dalam kasus penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi justru hak-hak buruh yang dilanggar. “Selama lebih 10 tahun UU ini berjalan PPHI gagal menyelesaikan perselisihan hubungan industrial secara adil, cepat, tepat dan murah,” katanya.
Lebih lanjut Rieka juga menuding dalam PPHI tersebut peran Negara dalam melindungi rakyatnya, termasuk kaum buruh sama sekali tidak terlihat. Dengan demikian menurut Rieke sudah seharusnya jika UU PPHI harus ditinjau ulang.
Sebelumnya, buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSP Singaperbangsa) juga mengajukan uji materil dan formil terkait Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Indusrial (UU PPHI) ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mempersoalkan masalah gugatan dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Penyelesaian masalah sengketa hubungan kerja ini berdasarkan UU PPHI melalui PHI dinilai buruh menghilangkan jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya. Karena ketentuan Pasal 81 UU PPHI merubah gugatan voluntair (permohonan) menjadi gugatan, akibatnya kewajiban pengusaha menjadi hilang padahal pengusahalah sebenarnya yang berinisiatif mengajukan PHK.
“Jika pengusaha tidak mengajukan permohonan maka buruh akan kehilangan perlindungan dan kepastian hukum akan hubungan kerjanya. Akhirnya buruh dipaksa untuk melakukan gugatan di PHI. Hal ini menjadi dilema karena buruh pasti tidak memahami hukum acara, sedangkan menyewa pengacara menjadi pilihan sulit karena buruh juga tidak memiliki cukup uang,” ujar seorang aktifis buruh.
Apalagi asas hukum menyatakan siapa yang mendalilkan maka dialah yang harus membuktikan. Kondisi jelas tidak “fear” jika buruh diminta memberikan bukti selengkap-lengkapnya karena yang memiliki bukti lengkap adalah pengusaha, misalnya salinan perjanjian kerja, slip gaji, surat tanda karyawan hingga surat Pemutusan Hubungan Kerja.
Kondisi ini tidak jarang menyebabkan gugatan buruh di PHI kandas karena ketidal jelasan bukti hubungan kerja atau kelanjutan hubungan kerja buruh dengan pengusaha, sehingga PHI menolak gugatan. Kondisi ini sangat sering ditemukan dalam berbagai gugatan yang dilayangkan oleh buruh.
Selain persoalan diatas, buruh juga mempersoalkan UU PPHI yang tidak lagi melibatkan pemerintah, alhasil pengusaha kerap mengabaikan putusan PHI. Akibatnya buruh harus memohoh untuk melakukan eksekusi dan penyitaan. Persoalan belum selesai karena buruh harus mencari objek sita, namun kesulitan kembali timbul karena ketiadaan biaya eksekusi dan lainnya.
Hasil penelusuran KP, penyelesaian sengketa hubungan kerja di PHI ini ternyata berbeda dengan penyelesaian sengketa hubungan kerja yang diatur oleh undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 2957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. Dalam undang-undang ini dinyatakan jika pengusaha tidak menjalankan putusan yang diatur dalam undang-undang ini, maka pengusaha diancam kurungan selama 3 bulan.
Dengan berbagai alasan diatas maka buruh meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan UU PPHI dinyatakan tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga UU PPHI dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Selain itu mereka juga menyarankan agar Undang-Undang No. 22 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dinyatakan kembali berlaku.
Dalam catatan KP, kehadiran UU PPHI sejak tahun 2004 membuat posisi buru yang ingin berperkara di PHI menjadi dilematis. Disatu sisi jika tidak berperkara sudah pasti hak-haknya yang dirampas tidak akan kembali, disisi lain jika berperkara di PHI sudah dipastikan membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang sangat lama.
Parahnya lagi, sering sekali sebuah putusan yang dihasilkan oleh PHI (baik putusan sela maupun putusan final) yang menguntungkan buruh tidak dijalankan oleh pengusaha namun tidak ada sanksi bagi pengusaha yang tidak menjalankan putusan PHI. Artinya setelah menjalani proses panjang, mahal dan sangat melelahkan, pada akhirnya buruh tetap tidak mendapatkan keadilan.
Banyak pihak yang menenggarai kelemahan produk hukum dinegeri ini seperti disengaja, karena kelemahan tersebut hanya merugikan kaum yang tidak memiliki posisi politik dan ekonomi yang kuat. Seperti kasus dalam PPHI selalu buruh dalam posisi yang dirugikan. Bahkan secara ekstrim ada yang manuding lahirnya PPHI ini sebenarnya dimaksudkan untuk melemahkan geraka buruh di Indonesia. *Msk*