“Kami Butuh Upah Layak Bukan Upah Minimum”

Semarang, KPonline – “Kami butuh upah layak, bukan upah minimum.” Demikian salah satu tuntutan yang disampaikan oleh Gerakan Masyarakat Pekerja Ungaran (Gempur), dalam aksi yang dilakukan Rabu (3/11).

Di banyak perusahaan, upah minimum seringkali menjadi upah maksimal. Tak peduli pekerja tersebut sudah bekerja puluhan tahun, bahkan sudah berkeluarga dan beranak pinak. Tetap saja upah yang mereka adalah upah minimum.

Jelas sekali, dalam kondisi seperti ini, kesejahteraan buruh akan terabaikan. Mereka tidak memiliki kemampuan daya beli.

Ada yang berpendapat, sebaiknya upah dirundingkan di perusahaan. Tetapi, masalahnya, seberapa banyak buruh yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk merundingkan upah dengan pengusaha di tempatnya bekerja. Terlalu banyak cerita, ketika buruh menuntut upah, jawabnya selalu: “Kalau tidak mau gaji segini, silakan cari pekerjaan di tempat lain.” Bahkan ada yang lebih tragis, berujung pada pemecatan.

Dalam kontesk itulah, kemudian bisa dimengerti ketika kemudian buruh menuntut upah layak. Upah yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

’’Kami meminta upah minimum kabupaten (UMK) Kabupaten Semarang 2017 sebesar Rp 2.174.521. Karena nominal itu riil berdasarkan survei kebutuhan hidup layak,” kata Sumartono, aktivis FSPMI di Semarang.

Jika dihitung menggunakan PP 78 2015, lanjutnya, buruh di Kabupaten Semarang hanya memperoleh UMK sebesar Rp 1.742.000. Ini masih jauh dari kebutuhan hidup layak, apalagi untuk ukuran Semarang.

Baginya, tidak ada kata lelah dalam berjuang. Dia, dan para buruh yang lain, akan terus berjuang untuk mewujudkan hidup layak di Semarang. (*)