Ibu Encas, Potret Kehidupan Buruh Garmen di Subang

Subang, KPonline – Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan bu Encas. Seorang buruh garmen di kabupaten Subang. Sepintas, sosoknya biasa saja. Tetapi penggalan kisah hidupnya boleh dikata luar biasa.

“Apapun yang terjadi, hidup harus terus berlanjut. Karena itu jangan berhenti. Kita harus kuat menjalani,” katanya.

Ibu 5 orang anak ini baru saja sembuh dari penyakit paru-paru, yang mengharuskannya mengambil cuti panjang untuk menyembuhkan sakitnya. Beruntung, perusahaan tempatnya bekerja tidak mempersulit urusan cuti panjangnya.

Dengan segala kekurangannya, bu Encas ikhlas menjalani hidupnya. Baik sebagai ibu dari anak-anaknya, maupun sebagai seorang istri dari suami yang bekerja serabutan. Tidak memiliki penghasilan tetap.

Bu Encas berperan ganda. Selain sebagai ibu bagi anak-anaknya, menjadi istri, dia juga sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.

Dia perempuan yang kuat. Hebat. Mampu melawan budaya patriarki tanpa harus melepaskan kodratnya.

Suaminya, sudah biasa berbagi tugas melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa banyak mengeluh. Bukan karena suaminya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, memang, sudah terbiasa dengan kondisi, dimana sang istri harus meninggalkan rumah untuk bekerja seharian.

Dalam kesehariannya, kondisi kehidupannya sangat jauh dari kata sejahtera. Ironis, memang. Padahal dia sudah bekerja selama bertahun-tahun di pabrik garmen. Tetapi ini tak membuatnya frustasi. Meskipun dia harus merelakan anak kelimanya di asuh oleh kakaknya yang tinggal di kota Bandung.

Rindu kepada si buah hati, terkadang menyiksanya. Tetapi dia bisa apa? Kondisi keuangan tak memungkinkan untuk menengok anaknya kapanpun dia mau.

Belum lagi dia harus pandai mengatur keuangan agar dapur tetap bisa ngebul, dan anak-anak tetap bisa berangkat ke sekolah dengan bekal seadanya.

Saya ngobrol santai dengan bu Encas dan putri sulungnya, Neng Tia.

Setiap pagi dia harus bangun jam 04.00 pagi, mempersiapkan keperluan anak-anaknya untuk sekolah, yang masih SMP (1 orang), SD (2 orang) sementara anak keempatnya masih belum bersekolah.

Neng Tia, putri sulung bu Encas, terkadang membantu pekerjaan rumah. Suami juga membantu beres-beres rumah sebisanya. Neng Tia baru saja lulus SMA. Dia baru saha diterima bekerja ditempat yang sama dengan ibunya.

Dengan anaknya bekerja, bu Encas sedikit bernafas lega. Ditemani anaknya, saya ngobrol ringan dan santai. Tetapi sempat beberapa penggalan momen obrolan kami menyebabkan saya, Neng Tia dan Pak Komar (kepala bagian tempatnya bekerja), berurai airmata.

Dari awal kami ngobrol, Neng Tia sudah berkaca-kaca saja matanya. Saya sempat bertanya kepada Neng Tia, rasa seperti apakah yang dia simpan untuk Ibundanya? Dia menjawab pelan. “Saya sangat bangga dengan Ibu saya. Saya sangat menyayangi dan ingin sekali meringankan beban hidup Ibu.”

Saya sangat bangga dengan Ibu saya, saya sangat menyayangi dan ingin sekali meringankan beban hidup Ibu

Sungguh mulia hatimu Neng Tia, diusiamu yang barus beranjak dewasa, kau lebih dewasa dari usiamu yang sebenarnya.

Ditengah himpitan ekonomi keluarga, bu Encas masih menampung keponakannya yang juga sudah berkeluarga, dengan 2 orang anak, yang tidak punya penghasilan juga. Meskipun dalam kesusahan, dia tetap bersedia berbagi.

Tak ada lelah tersirat di mata bu Encas. Meskipun badannya terlihat sedikit ringkih, setiap ungkapan optimisnya mampu membuat saya terharu biru.

Kisah bu Encas sepertinya klise, dan gambaran sesungguhnya kehidupan buruh garmen yang hanya dengan upah 2,3 juta harus memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit melangit.

Apalagi jika upah minimum sektor Khusus Padat Karya sampai terjadi di Kabupaten Subang. Harus berapa banyak lagi Encas-Encas lainnya yang bernasib sama?

Semoga saja kisah Bu Encas mampu memberi kita inspirasi untuk berbagi dengan ikhlas.

Subang, 28 Agustus 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *