Diminta Tahu Dosis Demo, Buruh: Asal Saat Musyawarah Jangan Sekedar Formalitas

 

Suasana musyawarah di Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Suasana musyawarah di Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Jakarta, KPonline – Ketika menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang dipimpin Yorrys Raweyai, di Kudus (28/2/2016), Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dakhiri mengatakan buruh harus tahu dosis dalam melakukan demonstrasi.

Bacaan Lainnya

“Tahu dosis, tahu kapan harus demo dan kapan tidak harus demo. Kapan demo besar-besaran dan kapan tidak,” tutur Hanif, seperti diberitakan republika.co.id.

Dalam kesempatan itu, Hanif juga mengatakan, “Ada Serikat pekerja yang tidak tahu dosis, sedikit-sedikit demo.” Meskipun tidak disebut secara tegas, dapat ditebak serikat pekerja yang dimaksud adalah serikat pekerja yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI).

Menanggapi pernyataan Hanif, tentu saja, kita setuju. Bahwa demo bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan permasalahan. Bahwa tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan demo. Dalam bahasa Menaker, buruh harus mengedepankan apa yang dalam bahasa Jawa disebutnya sebagai rembug atau musyawarah.

Namun demikian, musyawarah pun harus dilakukan dengan beberapa persyaratan. Dalam bukunya, Gagasan Besar Serikat Buruh, Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan syarat dalam musyawarah antara lain kepercayaan, kesetaraan, dan keterbukaan. Dalam bahasa yang lebih tegas, bagaimana mungkin akan terjadi musyawarah, apabila baru mengirimkan surat permohonan saja tidak sedikit pimpinan serikat pekerja yang diintimidasi, bahkan di pecat dari perusahaannya.

Perintah Undang-undang bahwa upah minimum hanya untuk pekerja di bawah satu tahun, hanya indah di atas kertas. Bahkan, sekarang ini mayoritas pekerja mendapatkan upah minimum. Dalam beberapa kasus, ditemukan pekerja dengan masa kerja 30 tahun masih menerima upah minimum.

Belum lagi, ketika kemudian musyawarah hanya dijadikan formalitas semata. Kabupaten Kudus, tempat Menaker menyampaikan pernyataan ini sebagai contoh. Upah minimum di tempat ini hanya sebesar Rp. 1.608.200. Atau Kota Semarang yang hanya sebesar Rp. 1.909.000. Pertanyaan kita, apakah buruh bisa layak dengan upah sebesar itu?

Taruhlah biaya hidup disana lebih murah dari kebutuhan hidup di Jakarta. Tetapi apakah benar ketimpangannya sebesar itu? Faktanya, biaya hidup di Kudus, Semarang, dan kota-kota lain seperti Jakarta, Bekasi, Surabaya, dan Tangerang, tidak jauh berbeda.

Jadi, musyawarah seperti apa yang dikehendaki Menaker? Dengan kata lain, apakah ketika buruh disana bermusyawarah, apakah pemerintah dan pengusaha akan bermurah hati menyamakan upahnya dengan upah minimum di Mojokerto, Pasuruan, dan daerah lain?

Dengan adanya PP Pengupahan yang menetapkan kenaikan upah secara flat, itu hanya akan menjadi mimpi. (*)