Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak.. (Bab III)

Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak.. (Bab III)

Baca Sebelumnya..

BAB 3

Aku tiba di pabrik dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Hati tertinggal di rumah bersama tubuh kecil Adit yang sedang berjuang melawan demam.

Tapi wajah harus tetap kuat, tangan harus tetap sigap. Dunia pabrik tak memberi ruang bagi perasaan. Tak ada tempat untuk air mata, tak ada waktu untuk gundah.

Begitu aku duduk di bangku nomor 12, Pak Beni langsung berdiri di depan kami dengan papan data.

“Mulai minggu ini, setiap unit kerja harus menyelesaikan dua kali lipat produksi harian,” katanya, seolah itu hal kecil. “Kita dapat kontrak besar dari luar negeri. Kalau ini sukses, insentif akan dinaikkan.”

Semua langsung menunduk. Beberapa tampak cemas. Tapi tak satu pun berani bicara.

“Yang lembur harap daftar di kertas ini,” lanjutnya sambil meletakkan map di atas meja tengah. “Yang enggak mau, ya silakan… Tapi jangan harap tetap dapat shift penuh bulan depan.”

Ancaman yang dibungkus dengan senyum. Kami semua mengerti maksudnya.

Aku mulai menjahit. Jemariku bergerak cepat, tapi pikiranku kacau. Aku tak bisa berhenti memikirkan Adit. Apakah dia sudah makan? Apakah demamnya makin tinggi? Siapa yang akan menemaninya kalau ia bangun dan memanggilku?

Setiap suara mesin yang berderu terasa seperti tamparan di telingaku. Rasanya tubuhku sedang duduk di bangku pabrik, tapi jiwaku terus berlari pulang.

Pukul 13.40, aku izin ke toilet dan sembunyi-sembunyi mengirim pesan ke tetangga sebelah rumah: “Mbak Sari, boleh tolong cek anak saya sebentar? Lagi demam. Saya di pabrik, belum bisa pulang.”

Beberapa menit kemudian, balasan masuk:

“Maaf Bu Rina, saya lagi ke pasar. Tadi sempat dengar suara Adit manggil-manggil, saya kira Ibu di rumah. Gak ada yang jaga ya?”

Darahku seperti berhenti mengalir.

Adit sendirian. Demam. Manggil-manggil. Dan aku? Aku duduk di ruangan dingin yang penuh mesin karena takut kehilangan uang lembur.

Tanganku gemetar. Aku berdiri, berniat keluar dari pabrik saat itu juga. Tapi sebelum aku sempat melangkah, Pak Beni muncul di lorong.

“Mau ke mana, Rina?” tanyanya sambil melipat tangan.

“Pak… saya harus pulang. Anak saya sakit. Demamnya tinggi dan dia sendirian di rumah.”

Pak Beni menggeleng pelan, matanya datar. “Kalau kamu keluar sekarang, kamu enggak bisa balik kerja sore. Dan lembur minggu ini batal.”

Aku menahan napas. Rasanya seperti dicekik.

“Pak… saya mohon…” suaraku hampir pecah.

Tapi ia hanya memberi isyarat dengan tangannya untuk menyuruhku kembali ke tempat duduk. Seolah aku ini hanya bagian dari mesin produksi, bukan manusia.

Aku kembali ke bangku jahitku. Tapi kali ini, benang tak bisa lagi kutarik lurus. Jarum mulai meleset. Kain jadi kusut. Semua karena tanganku tak bisa berhenti gemetar.

Pukul lima sore, aku akhirnya bisa pulang. Aku bahkan tak menunggu pengumuman lembur, tak peduli dengan ancaman potong shift. Aku hanya ingin sampai rumah.

Saat aku membuka pintu rumah, udara di dalam terasa panas dan sesak. Kamar Adit gelap.

Aku berlari, menyalakan lampu, dan mendapati Adit masih terbaring—tapi kali ini, tubuhnya lebih panas, napasnya lebih cepat, dan matanya setengah terbuka dengan tatapan kosong.

“Adit!!” aku memanggilnya panik.

Dia tidak merespons. Tangannya dingin. Keringat membasahi dahinya.

Aku menggendongnya tanpa pikir panjang. Motor bututku hampir roboh saat kupacu ke klinik terdekat. Di dalam hati, aku terus berdoa, menggenggam harapan terakhir seperti tali yang hampir putus.

Sesampainya di klinik, perawat langsung membawa Adit ke ruang tindakan. Aku menunggu di luar, berdiri di antara rasa takut dan penyesalan.

Seorang ibu di sebelahku bertanya, “Anaknya sakit apa, Bu?”

Aku menoleh, mencoba menjawab. Tapi tak ada suara yang keluar.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar takut kehilangan segalanya.

***************

Waktu di ruang tunggu klinik terasa berhenti. Detik-detik merayap seperti hembusan angin dingin yang menusuk dada. Aku duduk di kursi besi dingin itu sambil menggenggam botol air mineral yang tak sempat kubuka.

Telingaku berdengung, mataku menatap kosong ke arah pintu ruang tindakan yang tertutup rapat.

Aku masih bisa mencium bau minyak kayu putih dari baju Adit, yang menempel di tubuhku saat tadi kugendong. Campur aduk dengan aroma keringat, obat, dan… rasa takut yang tak bisa kuucapkan.

Beberapa menit kemudian—atau mungkin sudah setengah jam, aku tak yakin—pintu itu terbuka.

Seorang dokter muda keluar, wajahnya tegas tapi mencoba ramah. Ia menghampiriku, tangan kirinya memegang clipboard, tangan kanan menyentuh lenganku pelan.

“Bu Rina?” tanyanya.

Aku mengangguk cepat, setengah berdiri. “Gimana anak saya, Dok? Tolong… tolong bilang dia baik-baik saja…”

Dokter itu menarik napas panjang. “Adit mengalami demam tinggi yang cukup lama, Bu. Kemungkinan sudah sejak pagi. Kami sudah berikan obat penurun panas dan cairan infus. Saat ini kondisinya masih observasi. Tapi… ada indikasi dehidrasi berat.”

Aku terdiam. Takut bertanya lebih jauh.

“Kalau terlambat sedikit lagi, Bu… bisa lebih parah. Bahkan bisa terjadi kejang atau penurunan kesadaran. Untung Ibu bawa sekarang.”

“Telat… ya?” bisikku pelan. Suara itu hampir tak terdengar, bahkan olehku sendiri.

Dokter itu mengangguk pelan. “Tapi sekarang kami sudah tangani. Semoga tidak terjadi komplikasi.”

Aku mengangguk-angguk dengan mata yang mulai memanas.

“Boleh saya lihat dia, Dok?”

“Silakan. Tapi pelan-pelan ya, Bu. Dia masih sangat lemah.”

Aku masuk ke ruang rawat kecil itu. Adit terbaring dengan wajah pucat, tangan mungilnya dipasangi selang infus. Di pipinya masih ada bekas air mata yang sudah kering. Napasnya pelan, dan matanya terpejam.

Aku duduk di sisi ranjangnya dan menggenggam tangannya pelan.

“Bunda di sini, Nak…” bisikku, suara gemetar. “Maaf ya… maaf Bunda telat.”

Air mata itu tak bisa kutahan. Aku menangis diam-diam sambil menyandarkan kepala di samping tubuh kecilnya. Entah berapa lama aku duduk seperti itu.

Dunia luar tak lagi penting. Mesin jahit, lembur, insentif, target produksi—semuanya lenyap di bawah rasa takut kehilangan anak yang selama ini jadi alasan aku bertahan.

Sore itu langit mendung, seperti perasaanku.

Beberapa jam kemudian, Adit membuka matanya perlahan. Ia menatapku samar-samar, lalu berbisik pelan, “Bunda… jangan tinggalin Adit lagi ya…”

Seketika aku merasa seperti orang terkejam di dunia. Aku peluk tubuhnya pelan, takut menyakiti.

“Enggak, Nak… Bunda janji. Mulai sekarang, Bunda akan selalu di samping Adit.”

Aku tahu janji itu berat. Aku tahu di luar sana, pabrik tetap berdiri. Mandor tetap menunggu hasil. Hidup tetap menuntut. Tapi untuk pertama kalinya, aku sadar: tak ada pekerjaan yang sebanding dengan nyawa anak sendiri.

Aku menatap wajah Adit yang mulai memerah sedikit, tanda panasnya menurun. Perlahan aku mulai berpikir: Haruskah aku tetap di pabrik itu? Atau… ada jalan lain yang bisa kutempuh?

Pertanyaan itu belum ada jawabannya malam itu. Tapi satu hal sudah pasti: aku tak bisa lagi hidup seperti kemarin. Aku tak bisa terus menjadi mesin. Aku adalah ibu. Dan anakku… butuh aku lebih dari apapun.

Di luar, hujan mulai turun pelan. Tapi di dalam ruangan kecil itu, untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa hangat.

————–

Baca Kelanjutannya..