BPJS Kesehatan Tidak Boleh Hentikan Layanan Pada Pekerja Dalam Proses Perselisihan PHK

Jakarta, KPonoine – Badan Usaha dapat dengan mudah melakukan penambahan atau pengurangan peserta JKN-BPJS melalu aplikasi yang dimiliki oleh Badan Usaha, yaitu e-dabu. Namun seharusnya, pada saat ada Badan Usaha melalukan pengurangan jumlah peserta, pihak BPJS Kesehatan hendaknya harus kritis dan menanyakan atas dasar apa pengurangan peserta itu dilakukan. Apakah si pekerja berhenti, mengundurkan diri, habis kontrak, atau PHK.

Lebih dari itu, perlu juga ditanyakan, apakah ada berkas pendukung seperti surat pengunduran diri, surat habis kontrak kerja, atau putusan tetap dari pengadilan?

Jika hal tersebut tidak ada, maka sesuai dengan Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS mempunyai kewajiban untuk “Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja”.

Selanjutnya, dalam Pasal 11 huruf a disebutkan, “Menagih pembayaran Iuran” dan pada Pasal 11 huruf c : “Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional” BPJS juga berwenang sesuai pada Pasal 11 huruf f : “Mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya.”

Lalu apa tanggung jawab badan usaha atau pemberi kerja? Jelas disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) : “Pemberi kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.”

Pasal 19 ayat (2) : “Pemberi kerja wajib membayar dan menyetor iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.”

Jika bada usaha beralasan “no worsk no pay” atau tidak bekerja maka upah tidak dibayar, hal itu sangat keliru untuk kasus PHK seperti yang terjadi di PT Freeport, Lintec Indonesia, dan Smelting. Karena tidak bekerjanya buruh di perusahaan tersebut, bukan karena mangkir. <elainkan sedang melaksanakan “hak dasar” sebagai pekerja buruh, yaitu mogok kerja. Hal ini Sesuai Pasal 137 UU No 13 Tahun 2003, bahwa mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.”

Maka selama mogok kerja berlangsung dan belum adanya putusan tetap/ingkrah maka pelayanan kesehatan JKN-BPJS harus tetap diberikan pada pekerja buruh, sesuai Pasal 155 UUK No 13/2003. Dalam ayat 2 disebutkan, “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.” Kemudian dalam ayat 3, “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”.

Dengan dasar di atas, Kami meminta BPJS Kesehatan sesuai amanat untuk melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, BPJS Kesehatan harus mengaktifkan kembali kepesertaan kawan-kawan buruh yang sedang melakukan mogok kerja yang sah.

Saat ini belum ada definisi PHK menurut BPJS Kesehatan seperti apa, sehingga buruh yang habis kontrak, berselisih dan selesai dengan pesangon tidak mendapatkan hak pelayanan kesehatannya selama 6 bulan setelah PHK sesuai dengan UU SJSN No 40/2004 Pasal 21 ayat 1 yang mengamanatkan agar kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja.

Penulis: Heri Irawan, Koordinator Jamkeswatch Bogor – Depok